Rabu, 13 April 2022

RAJA YANG DITOLAK

Jumat Agung

Yesaya 52:13-53:12 | Mazmur 22 | Ibrani 10:16-25 | Yohanes 18:1-19:42


Kira-kira sebulan lalu, para teolog Gereja Ortodoks membuat sebuah deklarasi pernyataan sikap terkait pengajaran Dunia Rusia (Russkii Mir), untuk menanggapi invasi Rusia ke Ukraina (tautan: https://bit.ly/3KF49nP). Para teolog Ortodoks ini menyayangkan peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, yang notabene adalah negara-negara Kristen Ortodoks. Poin keberatan mereka adalah soal ideologi Dunia Rusia yang didukung oleh pemimpin Gereja Ortodoks Rusia, Patriark Kirill. Ideologi Dunia Rusia yang dijadikan pembenaran untuk invasi ini menyatakan bahwa ada lingkungan atau peradaban transnasional Rusia, yang disebut Holy Russia atau Rusia Suci, yang meliputi Rusia, Ukraina, dan Belarusia serta etnis Rusia dan orang-orang berbahasa Rusia di seluruh dunia. Ideologi ini menyatakan bahwa "Dunia Rusia" ini memiliki pusat politik bersama (Moskow), pusat spiritual bersama (Kyiv sebagai "ibu dari semua Rus''), bahasa bersama (Rusia), gereja bersama (Gereja Ortodoks Rusia), dan seorang patriark bersama (Patriark Moskow).

Dukungan Patriark Moskow atas ideologi Dunia Rusia dianggap menodai konsep Kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus Kristus. Dukungan atas ideologi Dunia Rusia seolah-olah mau menyatakan bahwa Gereja Ortodoks Rusia mendukung penegasan kerajaan ala dunia dengan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. Ini berlawanan dengan Kristus yang menegaskan bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini, bukan dengan kekuasaan dan jalan kekerasan. Dengan mengutip perkataan Yesus dalam Yohanes 18:36, para teolog Ortodoks ini menolak ideologi Dunia Rusia dan keterlibatan Patriark Moskow di dalamnya, yang mengancam kehidupan dan memecah belah gereja.

Percakapan Yesus dengan Pilatus dalam Yohanes 18 menunjukkan kerajaan seperti apa yang diperkanalkan oleh Yesus sebenarnya. Pada masa Yesus, kerajaan identik dengan kekerasan untuk mendapatkan kekuasan, kekuasaan yang menekan dan menindas. Praktik kekuasaan inilah yang ditunjukkan oleh Romawi dengan perwakilannya, Pilatus, di Yerusalem. Ini terlihat dalam pertanyaan Pilatus kepada Yesus. Pilatus bingung, jika Yesus adalah raja, mengapa bangsa-Nya sendiri yang menyerahkan Dia. Apakah Yesus tidak punya kuasa.  Tetapi, jawaban Yesus menangkal pemikiran itu. Konsep kerajaan bagi Yesus bukan soal kekuasaan dan kekerasan. Yesus berkata bahwa Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Sebab jika dari dunia ini, Ia sudah pakai kekerasan dan kekuasaan; Para pengikutnya akan melawan. Konsep kerajaan menurut Roma adalah soal kekuasan, tetapi bagi Yesus, kerajaan adalah soal menghadirkan rahmat ilahi kepada orang lain. Bukan seperti Romawi yang menggunakan kekerasan dan unjuk kekuasaan untuk mencapai tujuannya, nilai-nilai kerajaan yang diusung Yesus adalah cinta kasih, keadilan, perdamaian, dan keutuhan. Bahkan, Yesus sendiri melawan kekerasan dan unjuk kekuasaan itu dengan menjalani salib. Ia menegaskan kerajaan-Nya dengan merengkuh penolakan, penderitaan, salib dan kematian. Ia adalah Raja yang menderita.

Ada sebuah legenda, tentang seorang Romawi yang bernama Fidus. Ia datang ke rumah Yusuf, ayah Yesus, untuk belajar memahat kayu. Fidus kemudian tinggal beberapa waktu di rumah Yusuf untuk belajar soal pertukangan kayu. Suatu kali, saat Fidus sedang belajar dari Yusuf, anak Yusuf yang masih remaja bercerita tentang seorang Raja Agung yang akan menduduki tahkta agung dan menguasai seluruh semesta. Remaja itu adalah Yesus. Fidus lalu berkata, "Aku ingin membangun takhta yang agung untuk raja itu." Tahun demi tahun berlalu, Fidus kembali ke kampung halamannya dan menjadi tukang kayu yang akhirnya sukses dan tersohor. Belasan tahun kemudian ia datang ke Yerusalem. Ketika Ia melewati istana Pilatus, seorang prajurit mengenalinya dan berkata, “Tuan Fidus, kami membutuhkan bantuan anda. Ada tiga orang penjahat akan disalib. Kami hanya menyiapkan dua buah salib. Orang ketiga baru saja diputuskan hukumannya. Maukah anda membuatkan salib yang ketiga?” Fidus menyanggupinya dan mulai bekerja hingga akhirnya selesailah sebuah salib yang dipandanginya dengan bangga. Kemudian, Fidus mengikuti kerumunan orang di pinggir kota, yang menyaksikan arak-arakkan penjahat yang akan disalib. Ia mengikuti terus sekalipun tidak dapat melihat wajah para penjahat itu. Sesampainya di atas bukit tempat ketiga penjahat itu disalib, salah seorang dari antara mereka berbicara lemah. Fidus begitu mengenali suara itu. Suara remaja yang dulu pernah ditemuinya di rumah Yusuf. Suara itu muncul dari “tahkta agung” yang dibuat Fidus.

Kisah ini memang adalah sebuah legenda, tetapi ia mau mengaskan Yesus sebagai raja, bukanlah raja yang diagungkan dengan segala kemuliaan dan kekuasaan. Takhta bagi Sang Raja Semesta bukanlah emas atau permata, melainkan sebuah kayu salib. Ia adalah Raja yang menderita, Raja yang ditolak, Raja yang memilih salib sebagai jalan kematian yang membawa kehidupan. Hari ini, ketika kita memandang salib, takhta Sang Raja Semesta, kita diingatkan bahwa Allah menegaskan kemuliaan-Nya melalui salib dan derita. Jika saat ini kita mengalami duka dan derita, kehilangan dan kekecewaan, sakit penyakit dan beban pikiran, janganlah berpikir bahwa Kristus telah meninggalkan kita. Ingatlah bahwa Allah yang menyatakan kemuliaan-Nya dalam derita itu sedang bekerja menopang kita, ia hadir dan merangkul derita itu bersama kita. Saat ini, ketika kita memandang salib Kristus, takhta Sang Raja Semesta, kita diajak untuk mengakui Kristus sebagai Raja dengan segenap hati dan menjadi warga Kerajaan-Nya; Untuk merengkuh derita dan penolakan seperti Kristus, Raja kita, dan menemukan cinta Allah dalam derita; Untuk menyatakan Kerajaan-Nya yang diladaskan pada nilai-nilai kasih, keadilan, perdamaian, dan kepeduliaan, bukan dengan dengan kekerasan dan unjuk kekuasaan; Untuk membangun kebersamaan dan memperjuangkan kehidupan, bukan memecah-belah keutuhan dan mengancam kehidupan. Kiranya Kristus, Sang Raja Semesta, memampukan kita. Amin. (thn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar