(Minggu Transfigurasi)
2 Raja-raja 2 : 1 - 12;
Mazmur 50 : 1 - 6; 2 Korintus 4 : 3 - 6; Markus 9 : 2 - 9
Saudara, di masa serba individualis ini banyak orang malas dan enggan
untuk memilih hidup bersama orang lain dalam semangat solidaritas. Itu sebabnya
di masa kini, kasih dan kepedulian pada sesama seringkali menjadi hal langka
dan mahal. Dalam kondisi dunia yang serba individualis ini, kita justru diajak
untuk kembali memiliki semangat solidaritas kepada sesama.
Hal ini terlihat dari sikap Elisa kepada Elia dalam bacaan pertama di
kitab 2 Raja-raja 2 : 1 - 12. Diceritakan, dalam perjalanan yang dilakukan oleh
Elia dan Elisa dari Gilgal, Elia sempat berpesan kepada Elisa supaya tetap
tinggal sebab Elia harus melakukan perjalanan selanjutnya seperti yang
dikehendaki Tuhan kepadanya, yakni dari Gilgal ke Betel. Namun sekalipun
diminta tinggal, kala itu Elisa justru merespon, “Demi TUHAN yang hidup dan
demi hidupmu sendiri, aku tidak akan meninggalkan engkau.”
Bukan hanya sekali Elia berpesan demikian, karena setelah tiba di Betel,
Yerikho dan di sungai Yordan Elia berpesan hal yang sama kepada Elisa. Namun
berkali-kali Elia berpesan supaya Elisa tetap tinggal, berkali-kali juga Elisa
menolak untuk tinggal dan tetap mengikuti Elia ke manapun Elia pergi.
Pertanyaannya, mengapa Elisa tidak mengikuti apa yang disampaikan Elia? Tentu
bukan karena Elisa tipe keras kepala, suka membangkang dan tidak
dengar-dengaran. Tapi apa yang dilakukan oleh Elisa adalah sebagai bentuk
solidaritas Elisa kepada Elia.
Pertanyaannya mengapa Elisa bertindak sebegitunya kepada Elia? Mengapa
sekalipun ia punya peluang untuk istirahat di satu tempat dan berleha-leha tapi
ia tetap melanjutkan perjalanan dengan Elia? Jawabannya lagi dan lagi adalah
karena solidaritas (KBBI: bersifat mempunyai atau memperlihatkan perasaan
bersatu, senasib dan rasa setia kawan) Elisa kepada Elia.
Tapi mengapa Elisa harus bertindak solider kepada Elia? Karena Elisa
mengenal Elia. Ia mengenal Elia sebagai abdi Allah. Namun bukan hanya itu,
Elisa juga tahu kondisi Elia. Bahwa Elia kala itu diperintahkan Tuhan ke
beberapa tempat dalam kondisinya sudah tua. Sehingga untuk melakukan perjalanan
yang panjang, jauh dan melelahkan itu Elia tentu tidak dapat melakukannya sendiri.
Ia butuh didampingi. Ia butuh kawan dalam perjalanan. Di tambah lagi dalam
bacaan diungkapkan sudah jadi rahasia umum bahwa Elia akan diangkat oleh Tuhan
(ay. 3 dan 5). Kalimat ini bermakna ambigu karena ada yang mengartikannya
sebagai kematian Elia. Ada juga yang mengartikan sebagai kemuliaan yang
diterima Elia. Ada pula yang mengartikannya secara harafiah karena terkait
dengan apa yang tertulis dalam ay. 11.
Dalam berbagai tafsiran, Elisa dalam ketidakpahamannya akan kondisi Elia
berusaha untuk tetap solid, dekat dan menjadi kawan dalam perjalanan. Oleh
karena itu dalam semangat solidaritasnya, Elisa bukan hanya mengenal tetapi
juga bersedia untuk mendampingi Elia ke manapun ia diutus Tuhan untuk pergi.
Bahkan solidaritas yang ditunjukkan oleh Elia begitu tanpa batas. Karena
sekalipun ia ikut lelah, ia tahu resiko yang harus ia hadapi. Ia tetap
menunjukkan sikap solidernya kepada Elia. Apa yang dilakukan oleh Elisa apakah
berdampak? Ya. Apa yang ia lakukan dengan mengetahui dan menemani Elia sebagai
bentuk solidaritasnya mendapat kemuliaan yang bukan sebatas dari orang-orang
yang melihat betapa setianya Elisa kepada Elia. Tapi akhirnya ia mendapat
kemuliaan dalam solidaritasnya yang tanpa batas dari Allah.
Saudaraku dari bacaan pertama kita belajar bahwa solidaritas itu
mendatangkan kemuliaan yang didapat Elisa dari Allah. Hal ini pun sejalan
dengan apa yang diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 50 yang menceritakan dalam
kondisi dunia yang jauh dari keadilan, Allah datang dan tidak berdiam diri (ay.
3) tapi Ia datang untuk mengadili umatNya sebab Allah sendirilah Hakim. Bahkan
apa yang Allah lakukan dipersaksikan oleh langit yang memberitakan keadilan
Allah. Apa yang Allah lakukan sebagai bentuk solidaritasnya kepada umatNya.
Bukan hanya dalam Perjanjian Lama, karena dalam Perjanjian Baru di Injil
Markus pun diungkapkan tentang bagaimana Allah solider kepada manusia melalui
proses transfigurasi (trans: perubahan; figur: gambar/rupa). Mungkin apa yang
terjadi pada Yesus di atas gunung yang terlihat oleh Petrus, Yohanes dan
Yakobus adalah hal yang bagi kita biasa. Namun sesungguhnya ini adalah sebuah
titik awal Yesus memperkenalkan Allah dalam diriNya yang siap menderita bagi
umatNya. Sebab minggu depan kita akan memasuki Minggu Prapaskah (minggu sengsara).
Saudaraku, apakah dengan mengetahui bahwa solidaritas sesungguhnya
membuat manusia tergerak untuk hidup solider juga dengan Tuhan dan sesama?
Ternyata belum tentu. Sebab dalam bacaan kedua, 2 Kor. 4 : 3 - 6 memberi
gambaran bahwa ada juga orang-orang yang ternyata sudah diberitakan Injil tetap
menutup diri dari Injil sebab mereka tidak percaya bahkan enggan untuk
melakukan firman dengan hidup solider dengan Tuhan dan sesama. Dampaknya?
Bukannya hidup dalam kemuliaan Allah, mereka justru akan binasa.
Saudara dengan demikian, apa yang menjadi pesan firman Tuhan di minggu
Transfigurasi ini?
1. Milikilah semangat solidaritas tanpa batas dalam kehidupan
sehari-hari kepada orang-orang di sekitar kita
2. Ingatlah bahwa memiliki solidaritas tanpa batas bukan dilakukan dari
kita, oleh kita dan untuk kita. Tapi kita lakukan karena sejak awal solidaritas
itu sudah dimulai oleh Allah untuk kita umatNya dan perlu kita teruskan kepada
sesama
3. Biarlah melalui tindakan solidaritas tanpa batas kepada sesama yang
kita lakukan, kita mendapat kemuliaan sejati yang berasal dari Allah.
Tuhan memuliakan kita semua. Amin. (mc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar