Senin, 12 Februari 2024

KESALEHAN SENYAP

 Rabu Abu

Yoel 2:1-2, 12-17; Mazmur 51:3-19; 2 Korintus 5:20–6:10; Matius 6:1-6, 16-21


Beberapa hari sebelum pemilu, saya mencari-cari informasi soal caleg-caleg di daerah pemilihan saya. Beberapa saya oeriksa rekam jejak, visi-misi dan program unggulannya. Ada beberapa nama yang langsung masuk black list, salah satunya yang pakai embel-embel "Pdt" di depan namanya. Bagi saya jabatan pendeta tidak relevan dengan pekerjaan sebagai wakil rakyat. Entah apa yang dipikirkan caleg pendeta itu. Mungkin dia mau mendulang suara dari masyarakat Kristen, atau hanya sekadar pamer bahwa ia adalah pendeta, orang saleh. Kalau yang pertama berarti dia memainkan politik identitas, jika yang kedua berarti dia hanya ingin pamer ke-"Kristen"-annya. Ada unsur kesombongan rohani, kesalehan yang berisik.

Pada bacaan pertama, kita bisa melihat bahwa kesombongan, kebanggaan diri, dan ketamakan menyebabkan para nabi diutus Allah untuk menegur dan mengingatkan manusia. Nabi Yoel diutus Allah untuk menegur umat karena kesombongan dan kebanggaan diri. Allah melalui Nabi Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.”

Yesus pun mengkritik orang Farisi karena ibadah yang mereka lakukan ditujukan untuk memamerkan kesalehan di depan orang lain. Kesalehan yang berisik. Mereka berdoa, berpuasa, dan memberi sedakah sesuai ajaran agama. Namun, mereka tidak peduli dengan orang miskin, mereka merampas hak para janda, mereka suka menghakimi orang-orang yang mereka anggap tidak saleh. Ibadah ritual mereka jalankan dengan ketat, tetapi mereka tidak punya kepedulian sosial terhadap sesamanya. Yesus pun mengkritik mereka atas tiga ritual yang sering dijalankan, memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa.

Memberi sedekah bagi orang Yahudi adalah sebuah ritual yang mendatangkan pahala, karena itu orang-orang Farisi senang memberi sedekah kepada orang miskin supaya dapat pahala. Selain pahala, mereka juga suka dilihat orang supaya dianggap sebagai orang-orang yang dermawan. Mereka punya kebiasaan mengumpulkan orang-orang miskin di jalan atau di tempat ibadat dan kemudian membagi-bagikan sedekah kepada mereka di hadapan banyak orang. Ini yang dikecam oleh Yesus, dengan berkata “... janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Yang penting bukan sedekahnya, tetapi niat untuk memberi dan berbagi. Bukan untuk pamer, tetapi kerena kepedulian.

Berikutnya berdoa. Doa merupakan ritual rutin orang Yahudi setiap 3 jam. Biasanaya dilakukan oleh orang-orang Farisi di rumah-rumah ibadat dengan suara nyaring supaya didengar dan dilihat orang. Ketika jam doa dan mereka jauh dari rumah ibadah, mereka sengaja berdoa di pinggir jalan, terutama di perempatan jalan, supaya banya orang merlihat dan berkata mereka orang saleh. Doa menjadi kebanggan yang mereka pamerkan di depan orang karena dianggap saleh. Ini juga dikecam oleh Yesus dengan berkata, "Masuklah ke kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapa di tempat tersembunyi." Doa adalah komunikasi dengan Allah, jadi tidak perlu dipamerkan dan diucapkan dengan suara nyaring dan bertele-tele supaya didengar orang. Jadi tidak masalah jika kita berdoa di ruang ibadah atau di tempat umum, misalnya kantor, sekolah, rumah sakit. Yang masalah adalah jika doa dilakukan untuk cari muka, supaya dianggap saleh.

Kemudian puasa. Puasa itu wajib bagi orang Yahudi. Orang Farisi juga suka menunjukkan bahwa mereka sedang puasa, dengan membuat diri mereka terlihat sangat mederita atau terlihat lemas, matanya dibuat hitam seperti orang kelaparan. Lagi, supaya orang tahu bahwa mereka sedang berpuasa. Yesus juga mengecam ini dan berkata, "Cucilah mukamu, minyakilah kepalamu." Puasa sih puasa, tetapi wajah tetap harus segar. Jangan dipamerkan jika sedang puasa. Bukan berarti tidak boleh puasa, tetapi jangan dengan motivasi pamer kesalehan.

Saudara-saudari, saat ini kita mengawali masa Prapaska. Masa prapaska adalah masa kita merenungkan sengsara Kristus, menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus. Masa Prapaska merupakan persiapan orang percaya menuju Paska, melalui doa, penyesalan, pertobatan, dan penyangkalan diri. Prapaska juga adalah masa khusus bagi umat percaya untuk berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Bagi orang Kristen, puasa dan pantang adalah latihan rohani untuk menahan diri, menyangkal diri, dan bertobat serta mempersatukan pengurbanan diri kita dengan pengurbanan diri Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia. Dalam puasa, kita berkurban dengan melepaskan hal-hal yang kita senangi atau yang menjadi kebutuhan kita.

Puasa dan pantang bukanlah sekadar menahan diri, melainkan juga mengurangi jatah makan atau belanja kita sehingga ada yang dapat kita bagikan dengan sesama. Puasa selalu berkaitan dengan memberi sedekah, membatu orang lain yang membutuhkan peruatan baik kita. Karena itu selama masa Prapaska ini, kita juga diajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan bagi bagi sesama kita. Selain itu, kita mengembagkan spiritualitas juga dengan doa. Doa bukan hanya soal berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga relasi dengan sesama. Doa yang sejati bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata untuk melihat realitas di sekitar kita serta mengulurkan tangan untuk menolong sesama kita. Makan, doa juga berkaitan dengan memberi sedekah, artinya kepedulian untuk membantu orang lain. Semua itu, doa, puasa, sedekah, tidak kita lakukan dengan berisik, tetapi dalam senyap.

Inilah makna Prapaska. Ibadah yang bukan hanya ritual, tetapi juga sosial. Ibadah yang bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk menyatukan pengurbanan kita dengan pengurbanan Kristus. Simbol abu pada Rabu Abu, awal masa Prapaska ini, mengingatkan kita bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Mengajak kita untuk bertobah dari segala kesombongan kita, keangkuhan kita, dan kehendak untuk memamerkan kesalehan. Marilah memasuki Prapaska dengan penyangkalan diri, dengan ibadah kita yang tidak hanya ritual semata, tetapi ibadah yang meyeluruh dalam hidup kita sehari-hari. Bukan dalam kesalehan yang berisik, melainkan kesalehan yang senyap. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar