Selasa, 20 Februari 2024

Jalan Serta Yesus

 

Minggu Pra Paska II

Kejadian 17:1-7, 15-16 | Mazmur 22:23-31 | Roma 4:13-25 | Markus 8:31-38

Tema kali ini tentu mengingatkan kita pada lagu Sekolah Minggu yang sangat klasik;

Jalan serta Yesus, jalan serta-Nya setiap hari

Jalan serta Yesus, serta Yesus s’lamanya

Jalan dalam suka, jalan dalam duka

Jalan serta-Nya setiap hari

Jalan dalam suka, jalan dalam duka

Serta Yesus s’lamanya

Jika kita perhatikan lirik lagu itu, terdapat makna yang mendalam. Ajakan untuk anak-anak untuk terus setia berjalan serta Yesus tidak sekali dua kali, namun setiap hari. Tentu, hal ini tidak semudah nyanyian ini. Pada praktiknya, banyak halangan dan segala rintangan, terutama bila keadaan hidup tidak sejalan dengan ekspektasi kita. Ya, Ketika realitas justru melenceng dari segala harapan dan prediksi. Adakah kesetiaan untuk jalan serta Yesus?

Teks bacaan injil kita hari ini berkisah tentang pengajaran Yesus pada para murid mengenai kenyataan yang akan dihadapi-Nya. Yesus menceritakan bagaimana Ia akan ditolak dan pada akhirnya harus mati, lalu bangkit pada hari yang ketiga. Setelah Yesus menceritakan itu, Simon menariknya ke samping dan menegor Yesus. Apa yang dilakukan Simon ini tentu sangat mudah kita maklumi. Mungkin, kalua kita mengingat banyak kisah orangtua yang berkata pada anaknya bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, tentu si anak akan gelisah dan merasa tidak nyaman. “Mama ngomong apa sih..”, begitulah kira-kira respon si anak. Demikianlah Simon yang menegur Yesus, tentu sangat mudah kita maklumi. Namun, respon Yesus pada Simon ini yang musti kita telaah lebih lanjut. "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.", demikianlah jawaban Yesus pada Simon. Sekilas, kita akan sepakat bahwa Yesus menjawabnya dengan intonasi tinggi, atau dengan kata lain Yesus memarahi Simon. Namun, benarkah kemarahan Yesus ini dengan tujuan mengenyahkan (baca; mengusir) Simon?

Jika melihat kata ‘enyahlah’ memang serasa kasar dan ada nada pengusiran di sana. Namun, ada makna lain ketika kita melihat bahasa asli dari kata ‘enyahlah’. Ὕπαγε ὀπίσω μου (Hypage [h]opiso mou) memiliki arti get behind me atau pergilah ke belakangku, atau dalam arti lain, Yesus menyuruh Simon untuk mengambil posisi di belakang-Nya. Mengambil posisi di belakang Yesus bisa berarti secara fisik berjalan mengikuti-Nya, atau mengikuti pikiran-Nya seperti yang Ia katakan; sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Sehingga, Yesus memang benar tampak memarahi Simon, namun kemarahan-Nya bukan untuk mengusirnya, namun justru memerintahkan Simon untuk dekat dan mengikuti-Nya dari belakang. Dari jawaban ini, Yesus tidak mengusir atau menyuruh Simon menjauh dari-Nya, namun justru mau mengajak Simon untuk bisa melihat lebih dalam lagi akan misi-Nya di dunia. Ia rindu supaya murid yang disayanginya itu mau setia meski Ia akan mengalami penderitaan bahkan kematian.

Apa yang menjadi respon Simon adalah cerminan kita yang seringkali menolak jalan Tuhan yang diberikan untuk kita. Itulah mengapa, banyak orang percaya menjadi goyah karena ia merasa doa-doanya tidak dijawab oleh Tuhan. Padahal, mungkin Tuhan sudah memberinya jawaban, namun ia merasa bahwa itu bukan jawaban karena berbeda dengan apa yang diinginkannya. Lebih lagi, ia merasa doanya tidak dikabulkan. Di sanalah seringkali ada iman yang goyah, karena ia merasa Tuhan tidak peduli dengannya. Memang tidak mudah bila harus menjalani kehidupan yang tidak seturut dengan keinginan kita, namun justru di situlah seni dalam jalan serta Yesus. Yesus mengajak kita untuk mau menyelaraskan langkah kaki kita dengan langkah kaki-Nya.

Di atas sudah saya tuliskan kegusaran seorang anak yang menanggapi kalimat dari ibunya tentang kematian. Saya akan ceritakan kisah selanjutnya. Dalam sebuah ibadah penghiburan, saya berjumpa dengan seorang anak yang satu tahun terakhir begitu luar biasa merawat ibunya yang saat itu sakit keras. Ia benar-benar tampak tulus dan gigih untuk mengupayakan kesembuhan untuk ibunya. Suatu kali, ia merasa takut saat ibunya mengatakan bahwa waktu yang dimilikinya tidak lama lagi. Ia sampai menangis dan minta untuk saya doakan. Tentu, ketakutan itu sangat termaklumi. Namun, pada akhirnya, ibunya berpulang setelah berjuang dengan penyakit kerasnya. Saya cukup kuatir ketika akan menemuinya di rumah duka, namun kekuatiran saya sirna seketika. Ia segera menemui saya dan berkata, “Mama sudah tidak sakit lagi, Pak. Mama sudah menang, dan berjumpa dengan Tuhan. Ada sedih, tapi ini jalan Tuhan.” Inilah yang dimaksudkan menyelaraskan langkah kaki kita dengan Tuhan. Meski sulit, namun akhirnya mau jalan serta Yesus, yakni berjalan mengikuti-Nya.

Kidung pujian yang sangat kita kenal dari NKB 188 berjudul ‘Tiap Langkahku’ agaknya mengalami kesalahan translasi. Dalam lirik Bahasa Indonesia, dituliskan dengan ‘Tiap langkahku diatur oleh Tuhan’. Bila demikian, kita seperti bidak catur yang dilangkahkan oleh Tuhan Sang Pemain Catur. Namun, bahasa asli kidung ini adalah Each Step I take my Saviour goes before me, yang artinya lebih dekat pada ‘tiap langkah yang kuambil, Penyelamatku berjalan di depanku’. Ya, Allah selalu berjalan di depan, masalahnya apakah kita mau mengikut-Nya kemana pun Ia pergi meskipun ada susah dan derita? Ya, itu tidak mudah dan butuh perjuangan yang sangat keras. Namun, susah dan derita adalah warna perjalanan, bukan destinasi. Yesus katakan bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga, yang berarti ujung perjalanan kita adalah keselamatan yang penuh damai sejahtera.

Bacaan pertama dan kedua berkisah tentang pergumulan Abraham dan Sarah mengenai kerinduan mereka akan hadirnya momongan. Masa penantian yang tidak sebentar, bukan setahun dua tahu, bahkan bukan belasan tahun, namun puluhan tahun. Jelas, secara medis akan mudah mendapat vonis bahwa keduanya sulit mendapatkan momongan. Budaya patriarki membuat Sarah menjadi objek yang dipersalahkan dan dilabeli mandul. Tentu, bagi Sarah hal itu bukan hal mudah. Sangat beralasan bila ia menyerah dan hidup dalam derita. Namun, Abraham terus mau berjalan dalam kehendak Allah. Ia tidak protes dan menjalani semua perintah Allah dengan tekun dan setia. Singkat cerita, Allah menganugerahi mereka momongan.

Saya dan Ayu, istri saya, pernah memiliki pergumulan serupa, namun tidak selama Abraham dan Sarah. Tiga tahun lebih belum dikaruniai anak, padahal sudah ada kerinduan besar di hati kami waktu itu. Suatu kali, Ayu hamil 9 minggu, namun harus menjalani kuretase karena janin tidak berkembang sama sekali. Itu pukulan berat bagi kami. Namun, kami terus mengupayakan promil dengan didampingi dokter kandungan. Waktu berjalan begitu cepat, namun harapan kami seakan kian pudar. Belum lagi ditambahi pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan dari mulut orang-orang; kok belum isi? Kok lama sekali? Si anaknya B sudah punya anak padahal baru setahun menikah, dan bla bla bla. Itu cukup mengganggu mental kami. Jadi, bagi kita, jangan mudah mempertanyakan hal privat seperti itu kepada orang lain. Itu menyakitkan. Cukup doakan saja apa yang menjadi pergumulan orang lain. Program demi program kami ikuti dengan penuh pengharapan, namun hasil positif tak kunjung tampak pada alat tes kehamilan. Entah sudah berapa alat tes kehamilan yang membuat kami meneteskan air mata. Hingga, beberapa kali lidah saya kelu dan tercekat ketika harus memimpin Doa Bapa Kami. Saya terhenti pada kalimat ‘jadilah kehendak-Mu’. Serasa sulit sekali melanjutkan doa itu. Sulit sekali! Saat itu, seakan kami tidak punya pegangan apapun. Ibarat seseorang diterpa badai, kami tak punya pohon atau apapun untuk berpegangan. Ibarat terseret arus deras, kami tidak punya sesuatu untuk berpegangan. Hingga akhirnya kami sadar, satu-satunya yang bisa kami pegang adalah tangan kami sendiri, yaitu mengatupkannya, melipat jari-jarinya, dan berdoa. Itulah pegangan kami satu-satunya. Kami kembalikan segala pengharapan kami pada penyerahan diri atas kehendak Allah dalam hidup kami. Dan, itulah yang kami lakukan selalu. Jalan serta Yesus, meski keadaan tak berjalan seperti yang kami kehendaki.

Ada sebuah bagian dalam liturgi kita yang selalu kita lakukan untuk membuka dan menutup ibadah, yakni perarakan Alkitab. Tentu, kita harus meyakini bahwa itu bukan berarti Pelayan Firman manja sehingga Alkitab itu harus dibawakan seorang Penatua. Namun, prosesi perarakan Alkitab masuk berarti Sang Firman (Kristus) masuk dan mengajak kita berjumpa (bersekutu) dengan-Nya. Begitu pula ketika pulang, kita diajak untuk megikuti Sang Firman (Kristus) itu kemana pun Ia pergi. Menyelaraskan langkah kaki kita dengan langkah-Nya, meski sulit dan penuh derita, namun ada kedamaian di ujung sana. Jalan serta Yesus, setiap hari!

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar