Minggu Pra
Paska II
Kejadian 17:1-7, 15-16 | Mazmur 22:23-31 | Roma 4:13-25 | Markus 8:31-38
Tema kali
ini tentu mengingatkan kita pada lagu Sekolah Minggu yang sangat klasik;
Jalan serta Yesus, jalan serta-Nya
setiap hari
Jalan serta Yesus, serta Yesus s’lamanya
Jalan dalam suka, jalan dalam duka
Jalan serta-Nya setiap hari
Jalan dalam suka, jalan dalam duka
Serta Yesus s’lamanya
Jika kita
perhatikan lirik lagu itu, terdapat makna yang mendalam. Ajakan untuk anak-anak
untuk terus setia berjalan serta Yesus tidak sekali dua kali, namun setiap
hari. Tentu, hal ini tidak semudah nyanyian ini. Pada praktiknya, banyak
halangan dan segala rintangan, terutama bila keadaan hidup tidak sejalan dengan
ekspektasi kita. Ya, Ketika realitas justru melenceng dari segala harapan dan
prediksi. Adakah kesetiaan untuk jalan serta Yesus?
Teks bacaan
injil kita hari ini berkisah tentang pengajaran Yesus pada para murid mengenai
kenyataan yang akan dihadapi-Nya. Yesus menceritakan bagaimana Ia akan ditolak
dan pada akhirnya harus mati, lalu bangkit pada hari yang ketiga. Setelah Yesus
menceritakan itu, Simon menariknya ke samping dan menegor Yesus. Apa yang
dilakukan Simon ini tentu sangat mudah kita maklumi. Mungkin, kalua kita
mengingat banyak kisah orangtua yang berkata pada anaknya bahwa hidupnya sudah
tidak lama lagi, tentu si anak akan gelisah dan merasa tidak nyaman. “Mama
ngomong apa sih..”, begitulah kira-kira respon si anak. Demikianlah Simon
yang menegur Yesus, tentu sangat mudah kita maklumi. Namun, respon Yesus pada
Simon ini yang musti kita telaah lebih lanjut. "Enyahlah Iblis, sebab
engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang
dipikirkan manusia.", demikianlah jawaban Yesus pada Simon. Sekilas,
kita akan sepakat bahwa Yesus menjawabnya dengan intonasi tinggi, atau dengan
kata lain Yesus memarahi Simon. Namun, benarkah kemarahan Yesus ini dengan
tujuan mengenyahkan (baca; mengusir) Simon?
Jika melihat
kata ‘enyahlah’ memang serasa kasar dan ada nada pengusiran di sana. Namun, ada
makna lain ketika kita melihat bahasa asli dari kata ‘enyahlah’. Ὕπαγε ὀπίσω
μου (Hypage [h]opiso mou)
memiliki arti get behind me atau pergilah ke belakangku, atau dalam arti
lain, Yesus menyuruh Simon untuk mengambil posisi di belakang-Nya. Mengambil
posisi di belakang Yesus bisa berarti secara fisik berjalan mengikuti-Nya, atau
mengikuti pikiran-Nya seperti yang Ia katakan; sebab engkau bukan memikirkan apa
yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Sehingga, Yesus memang benar tampak
memarahi Simon, namun kemarahan-Nya bukan untuk mengusirnya, namun justru memerintahkan
Simon untuk dekat dan mengikuti-Nya dari belakang. Dari jawaban ini, Yesus
tidak mengusir atau menyuruh Simon menjauh dari-Nya, namun justru mau mengajak
Simon untuk bisa melihat lebih dalam lagi akan misi-Nya di dunia. Ia rindu
supaya murid yang disayanginya itu mau setia meski Ia akan mengalami
penderitaan bahkan kematian.
Apa yang
menjadi respon Simon adalah cerminan kita yang seringkali menolak jalan Tuhan
yang diberikan untuk kita. Itulah mengapa, banyak orang percaya menjadi goyah
karena ia merasa doa-doanya tidak dijawab oleh Tuhan. Padahal, mungkin Tuhan
sudah memberinya jawaban, namun ia merasa bahwa itu bukan jawaban karena
berbeda dengan apa yang diinginkannya. Lebih lagi, ia merasa doanya tidak
dikabulkan. Di sanalah seringkali ada iman yang goyah, karena ia merasa Tuhan
tidak peduli dengannya. Memang tidak mudah bila harus menjalani kehidupan yang
tidak seturut dengan keinginan kita, namun justru di situlah seni dalam jalan
serta Yesus. Yesus mengajak kita untuk mau menyelaraskan langkah kaki kita
dengan langkah kaki-Nya.
Di atas
sudah saya tuliskan kegusaran seorang anak yang menanggapi kalimat dari ibunya
tentang kematian. Saya akan ceritakan kisah selanjutnya. Dalam sebuah ibadah
penghiburan, saya berjumpa dengan seorang anak yang satu tahun terakhir begitu
luar biasa merawat ibunya yang saat itu sakit keras. Ia benar-benar tampak tulus
dan gigih untuk mengupayakan kesembuhan untuk ibunya. Suatu kali, ia merasa
takut saat ibunya mengatakan bahwa waktu yang dimilikinya tidak lama lagi. Ia
sampai menangis dan minta untuk saya doakan. Tentu, ketakutan itu sangat
termaklumi. Namun, pada akhirnya, ibunya berpulang setelah berjuang dengan
penyakit kerasnya. Saya cukup kuatir ketika akan menemuinya di rumah duka,
namun kekuatiran saya sirna seketika. Ia segera menemui saya dan berkata, “Mama
sudah tidak sakit lagi, Pak. Mama sudah menang, dan berjumpa dengan Tuhan. Ada
sedih, tapi ini jalan Tuhan.” Inilah yang dimaksudkan menyelaraskan langkah
kaki kita dengan Tuhan. Meski sulit, namun akhirnya mau jalan serta Yesus,
yakni berjalan mengikuti-Nya.
Kidung
pujian yang sangat kita kenal dari NKB 188 berjudul ‘Tiap Langkahku’ agaknya mengalami
kesalahan translasi. Dalam lirik Bahasa Indonesia, dituliskan dengan ‘Tiap
langkahku diatur oleh Tuhan’. Bila demikian, kita seperti bidak catur yang
dilangkahkan oleh Tuhan Sang Pemain Catur. Namun, bahasa asli kidung ini adalah
Each Step I take my Saviour goes before me, yang artinya lebih dekat
pada ‘tiap langkah yang kuambil, Penyelamatku berjalan di depanku’. Ya, Allah
selalu berjalan di depan, masalahnya apakah kita mau mengikut-Nya kemana pun Ia
pergi meskipun ada susah dan derita? Ya, itu tidak mudah dan butuh perjuangan
yang sangat keras. Namun, susah dan derita adalah warna perjalanan, bukan
destinasi. Yesus katakan bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga, yang berarti
ujung perjalanan kita adalah keselamatan yang penuh damai sejahtera.
Bacaan
pertama dan kedua berkisah tentang pergumulan Abraham dan Sarah mengenai kerinduan
mereka akan hadirnya momongan. Masa penantian yang tidak sebentar, bukan
setahun dua tahu, bahkan bukan belasan tahun, namun puluhan tahun. Jelas,
secara medis akan mudah mendapat vonis bahwa keduanya sulit mendapatkan
momongan. Budaya patriarki membuat Sarah menjadi objek yang dipersalahkan dan
dilabeli mandul. Tentu, bagi Sarah hal itu bukan hal mudah. Sangat beralasan
bila ia menyerah dan hidup dalam derita. Namun, Abraham terus mau berjalan
dalam kehendak Allah. Ia tidak protes dan menjalani semua perintah Allah dengan
tekun dan setia. Singkat cerita, Allah menganugerahi mereka momongan.
Saya dan Ayu,
istri saya, pernah memiliki pergumulan serupa, namun tidak selama Abraham dan
Sarah. Tiga tahun lebih belum dikaruniai anak, padahal sudah ada kerinduan
besar di hati kami waktu itu. Suatu kali, Ayu hamil 9 minggu, namun harus
menjalani kuretase karena janin tidak berkembang sama sekali. Itu pukulan berat
bagi kami. Namun, kami terus mengupayakan promil dengan didampingi dokter
kandungan. Waktu berjalan begitu cepat, namun harapan kami seakan kian pudar.
Belum lagi ditambahi pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan dari mulut orang-orang;
kok belum isi? Kok lama sekali? Si anaknya B sudah punya anak padahal baru
setahun menikah, dan bla bla bla. Itu cukup mengganggu mental kami. Jadi,
bagi kita, jangan mudah mempertanyakan hal privat seperti itu kepada orang
lain. Itu menyakitkan. Cukup doakan saja apa yang menjadi pergumulan orang
lain. Program demi program kami ikuti dengan penuh pengharapan, namun hasil
positif tak kunjung tampak pada alat tes kehamilan. Entah sudah berapa alat tes
kehamilan yang membuat kami meneteskan air mata. Hingga, beberapa kali lidah
saya kelu dan tercekat ketika harus memimpin Doa Bapa Kami. Saya terhenti pada
kalimat ‘jadilah kehendak-Mu’. Serasa sulit sekali melanjutkan doa itu. Sulit
sekali! Saat itu, seakan kami tidak punya pegangan apapun. Ibarat seseorang
diterpa badai, kami tak punya pohon atau apapun untuk berpegangan. Ibarat
terseret arus deras, kami tidak punya sesuatu untuk berpegangan. Hingga
akhirnya kami sadar, satu-satunya yang bisa kami pegang adalah tangan kami
sendiri, yaitu mengatupkannya, melipat jari-jarinya, dan berdoa. Itulah pegangan
kami satu-satunya. Kami kembalikan segala pengharapan kami pada penyerahan diri
atas kehendak Allah dalam hidup kami. Dan, itulah yang kami lakukan selalu.
Jalan serta Yesus, meski keadaan tak berjalan seperti yang kami kehendaki.
Ada sebuah
bagian dalam liturgi kita yang selalu kita lakukan untuk membuka dan menutup
ibadah, yakni perarakan Alkitab. Tentu, kita harus meyakini bahwa itu bukan
berarti Pelayan Firman manja sehingga Alkitab itu harus dibawakan seorang
Penatua. Namun, prosesi perarakan Alkitab masuk berarti Sang Firman (Kristus)
masuk dan mengajak kita berjumpa (bersekutu) dengan-Nya. Begitu pula ketika
pulang, kita diajak untuk megikuti Sang Firman (Kristus) itu kemana pun Ia
pergi. Menyelaraskan langkah kaki kita dengan langkah-Nya, meski sulit dan
penuh derita, namun ada kedamaian di ujung sana. Jalan serta Yesus, setiap
hari!
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar