Minggu V sesudah Epifani
Yesaya 40:21-31 | Mzm 147:1-11, 20 | 1
Korintus 9:16-23 | Markus 1:29-39
Setiap kita tentu rindu pada sentuhan
kasih Allah. Terlebih, kita yang sedang dilanda pergumulan hidup. Kita ingin
dilegakan dan dilepaskan dari belenggu sesaknya hidup. Teks Injil Minggu kita
hari ini berkisah tentang bagaimana Yesus tampil untuk memberi kelepasan bagi
orang-orang yang sedang dilada sakit, kerasukan setan, serta gumul-juang lain
dalam kehidupan orang pada masa itu.
Pertama, Yesus berjumpa dengan mertua
Simon yang sedang menderita sakit demam. Ketika membaca teks ini, terbersit
sebuah pertanyaan, “sungguh beratkah demam itu, sehingga Anak Allah harus turun
tangan?” Demam dalam pemahaman kita orang Indonesia yang hidup di zaman modern
adalah penyakit yang sangat umum, yang mungkin kita kenal sebagai masuk angin.
Penyakit yang hanya perlu dihadapi dengan koin dan balsam untuk kerokan
atau teh manis panas yang melegakan dada. Sehingga, ada dugaan bahwa demam yang
dimaksud di sini bukan sekedar demam. Dalam Ulangan 28:22 dituliskan, 28:22 TUHAN
akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang,
kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai
engkau binasa. Demam memiliki asosiasi bukan hanya sebagai penyakit fisik,
namun spiritual, yakni hukuman Allah. Selain itu, dengan anggapan sebagai
manusia yang dihukum Allah, tentu ia mendapat stigma negatif dari orang-orang
di sekitarnya. Sehingga, Ketika Yesus menyembuhkan mertua Simon, Yesus
melepaskannya dari masalah ragawi, spiritual, sekaligus sosial. Kasih Allah hadir
melalui perlakuan Yesus terhadapnya, tak banyak bicara atau kata-kata penuh
penghakiman, namun sentuhan dalam sunyi yang memulihkan manusia secara utuh.
Kedua, demam ibu mertua Simon dalam
teks Markus 1, Matius 8 atau Lukas 4, sebenarnya menunjukkan keterbatasan
pengetahuan tentang sakit penyakit. Ibu mertua Simon menderita demam yang
mengakibatkannya harus terbaring di tempat tidur. Kata terbaring di sini
menggunakan kata κατέκειτο
(katekeito), yakni frasa yang sama untuk menggambarkan
kondisi orang lumpuh yang dibawa kepada Yesus melalui atap (bdk. Markus
2:4). Berarti, ibu mertua Simon benar-benar sakit keras sehingga
membuatnya terbarih lemah tak berdaya. Ilmu
pengetahuan yang belum berkembang membuat penamaan akan sebuah penyakit sangat
terbatas. Sehingga, hal ini membuka kemungkinan bahwa kita sebenarnya tidak
benar-benar tahu tentang pergumulan apa yang dihadapi oleh mertua Simon. Namun,
dalam ketidakmengertian ini, Yesus pergi ke sana, dan memulihkannya.
Ketidakmengertian akan sebuah masalah ini juga seringkali kita hadapi sebagai
manusia. Kadang, kita tidak mengerti benar apa yang sedang kita hadapi. Kadang
seseorang bisa saja menangis, namun ia tidak bisa membahasakan perasaan yang
sedang dihadapinya. Mental health issue, menjadi problematika yang mendapat
perhatian publik akhir-akhir ini. Banyak orang kesulitan untuk mendeskripsikan
perasaan mereka. Yang ada hanyalah rasa sedih yang bingung, sakit hati yang
tidak terjelaskan. Demam ibu mertua Simon ini membuka segala kemungkinan
terhadap masalah yang tidak terjelaskan, namun kita semua menangkap ada masalah
serius di sana. Namun, justru di sini lah Yesus hadir sebagai Allah yang
memberikan sentuhan kelegaan dan pemulihan. Tanpa kata dan segala probabilitas diagnosa,
Ia datang dan memulihkan manusia rentan itu. Seakan-akan, Yesus tahu semua yang
dirasa tanpa ada penjelasan kata. Ia mampu ikut menghayati sakit yang tidak
terceritakan dengan baik. Seperti lirik lagu rohani yang dulu populer, sebagai
berikut
Yesus perhatikan
Tiap tetesan air mata
Dia mengenal hatimu yang
Penuh penyesalan dosa
Yesus mengenal arti dari tetesan air
mata yang membasahi pipi, Ia tahu itu semua. Ia mengenal hati yang hancur dan
rumit tak karuan. Ia ada dan datang untuk memberikan pemulihan bagi mereka yang
datang dan berharap kepada-Nya.
Ketiga, di ayat 35, Yesus di waktu
pagi-pagi benar, mengambil waktu sendiri untuk berdoa. Di tengah himpitan
banyak manusia dengan segala pergumulannya, Yesus mengkhususkan waktu
menyendiri untuk berdoa. Yesus sedang melakukannya sendiri, tidak mengajak mudir-murid-Nya.
Hal ini menandakan bahwa Ia tak sedang mengajar tentang arti doa, namun Ia
melakukannya dengan sadar dan privat. Kita bisa menangkap laku Yesus ini
sebagai sebuah kesadaran spiritual bagaimana seseorang seharusnya tetap
memelihara konektivitasnya kersama Allah (intimacy with God) dengan
menjaga disiplin doa. Yesus memiliki keseimbangan laku ritual dan fungsi-Nya.
Ia tidak terjebak melakukan ini-itu dan menjadi kelehahan (burn out),
namun Ia tetap melakukan doa dan permenungan pribadi.
Hal ini menjadi sorotan khusus bagi
para pelayan-pelayan di gereja. Tuntutan keberhasilan program berbasis indikator
yang njlimet yang dibuntuti evaluasi berkepanjangan seringkali membuat
seorang pelayan mengalami ketimpangan para pelaku diakonia. Rentetan jadwal dan
agenda sering menyeret para pelayan menjadi robot pelaksana program kerja
gereja yang tak jarang membuat mereka ‘kehausan’. Misalnya saja, panitia Natal
atau Paska. Semua panitia akan terpaku pada rundown, konsumsi, AC
ruangan, dan tetek bengek lainnya. Bahkan, saat doa, semua panitia akan ribut
sendiri dan tak jarang menimbulkan kegaduhan di bagian belakang ruang ibadah. Yang
terjadi di akhir perayaan adalah kelegaan karena kuantitas kehadiran dan
konsumsi yang tidak kurang. Fenomena semacam ini harus diwaspadai oleh semua
pelayan, termasuk seorang pendeta. Kita sebagai para pelayan Allah, tidak hanya
bertugas mengartikulasikan sentuhan kasih Allah kepada seluruh umat, namun kita
juga diajak menari dalam tiap gerak pelayanan yang dibangun. Yesus mengajarkan
kepada setiap kita untuk menjaga keseimbangan itu. Jika boleh dibahasakan, kita
semestinya memiliki keseimbangan dalam dimensi struktural dan ritual.
Keempat, ada hal menarik yang perlu
kita renungkan. Dalam pembuka perikop ini, dimulai dengan kata ‘sekeluarnya’.
Yesus setelah keluar dari rumah ibadat, langsung menuju ke rumah Simon Petrus,
yang ternyata mertuanya sedang mengalami sakit demam. Mengapa Yesus tiba-tiba
saja pergi ke sana? Mungkin ada yang menjawab dalam hati, “kan Yesus Tuhan
Yang Maha Kuasa, sehingga Ia tahu dimana umat yang menantikannya”. Jawaban
itu tidak salah, namun bukankah Ia pergi sana bersama Yohanes dan Yakobus? Meski
tidak dijelaskan secara tekstual, ada kemungkinan besar bahwa Yohanes dan Yakobus
lah yang menginfokan perihal sakitnya ibu mertua Simon kepada Yesus. Di sini kita
bisa merenungkan sebuah poin sederhana mengenai tema kita, yakni Sentuhan Kasih
Allah. Kadang kala, kita tidak berperan besar dalam pergumulan orang lain,
namun bagaimana kita dengan sadar mengambil peran kecil di dalamnya, yakni
menginfokan pergumulan saudara kita kepada Tuhan dalam doa. Doa kita kepada
Allah sesungguhnya tidak semestinya berisi tentang kebutuhan pribadi, namun
mengingat keresahan dunia di sekitar kita. Pada akhirnya, kita bisa mencontoh
Yakobus dan Yohanes, yakni bukan hanya ‘menyampaikan’ keresahan itu kepada Yesus,
namun akhirnya pergi kepada seseorang
yang sedang sakit, dan kita tahu, Yesus ada bersama langkah-langkah kita. Sentuhan
Kasih Allah itu bisa terwujud dalam kesadaran, bahwa kita juga bisa membuat
orang-orang merasakannya, karena Yesus ada bersama kita.
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar