Jumat, 02 Februari 2024

SENTUHAN KASIH ALLAH

Minggu V sesudah Epifani

Yesaya 40:21-31 | Mzm 147:1-11, 20 | 1 Korintus 9:16-23 | Markus 1:29-39

Setiap kita tentu rindu pada sentuhan kasih Allah. Terlebih, kita yang sedang dilanda pergumulan hidup. Kita ingin dilegakan dan dilepaskan dari belenggu sesaknya hidup. Teks Injil Minggu kita hari ini berkisah tentang bagaimana Yesus tampil untuk memberi kelepasan bagi orang-orang yang sedang dilada sakit, kerasukan setan, serta gumul-juang lain dalam kehidupan orang pada masa itu.

Pertama, Yesus berjumpa dengan mertua Simon yang sedang menderita sakit demam. Ketika membaca teks ini, terbersit sebuah pertanyaan, “sungguh beratkah demam itu, sehingga Anak Allah harus turun tangan?” Demam dalam pemahaman kita orang Indonesia yang hidup di zaman modern adalah penyakit yang sangat umum, yang mungkin kita kenal sebagai masuk angin. Penyakit yang hanya perlu dihadapi dengan koin dan balsam untuk kerokan atau teh manis panas yang melegakan dada. Sehingga, ada dugaan bahwa demam yang dimaksud di sini bukan sekedar demam. Dalam Ulangan 28:22 dituliskan, 28:22 TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa. Demam memiliki asosiasi bukan hanya sebagai penyakit fisik, namun spiritual, yakni hukuman Allah. Selain itu, dengan anggapan sebagai manusia yang dihukum Allah, tentu ia mendapat stigma negatif dari orang-orang di sekitarnya. Sehingga, Ketika Yesus menyembuhkan mertua Simon, Yesus melepaskannya dari masalah ragawi, spiritual, sekaligus sosial. Kasih Allah hadir melalui perlakuan Yesus terhadapnya, tak banyak bicara atau kata-kata penuh penghakiman, namun sentuhan dalam sunyi yang memulihkan manusia secara utuh.

Kedua, demam ibu mertua Simon dalam teks Markus 1, Matius 8 atau Lukas 4, sebenarnya menunjukkan keterbatasan pengetahuan tentang sakit penyakit. Ibu mertua Simon menderita demam yang mengakibatkannya harus terbaring di tempat tidur. Kata terbaring di sini menggunakan kata κατέκειτο (katekeito), yakni frasa yang sama untuk menggambarkan kondisi orang lumpuh yang dibawa kepada Yesus melalui atap (bdk. Markus 2:4). Berarti, ibu mertua Simon benar-benar sakit keras sehingga membuatnya terbarih lemah tak berdaya. Ilmu pengetahuan yang belum berkembang membuat penamaan akan sebuah penyakit sangat terbatas. Sehingga, hal ini membuka kemungkinan bahwa kita sebenarnya tidak benar-benar tahu tentang pergumulan apa yang dihadapi oleh mertua Simon. Namun, dalam ketidakmengertian ini, Yesus pergi ke sana, dan memulihkannya. Ketidakmengertian akan sebuah masalah ini juga seringkali kita hadapi sebagai manusia. Kadang, kita tidak mengerti benar apa yang sedang kita hadapi. Kadang seseorang bisa saja menangis, namun ia tidak bisa membahasakan perasaan yang sedang dihadapinya. Mental health issue, menjadi problematika yang mendapat perhatian publik akhir-akhir ini. Banyak orang kesulitan untuk mendeskripsikan perasaan mereka. Yang ada hanyalah rasa sedih yang bingung, sakit hati yang tidak terjelaskan. Demam ibu mertua Simon ini membuka segala kemungkinan terhadap masalah yang tidak terjelaskan, namun kita semua menangkap ada masalah serius di sana. Namun, justru di sini lah Yesus hadir sebagai Allah yang memberikan sentuhan kelegaan dan pemulihan. Tanpa kata dan segala probabilitas diagnosa, Ia datang dan memulihkan manusia rentan itu. Seakan-akan, Yesus tahu semua yang dirasa tanpa ada penjelasan kata. Ia mampu ikut menghayati sakit yang tidak terceritakan dengan baik. Seperti lirik lagu rohani yang dulu populer, sebagai berikut

Yesus perhatikan
Tiap tetesan air mata
Dia mengenal hatimu yang
Penuh penyesalan dosa

Yesus mengenal arti dari tetesan air mata yang membasahi pipi, Ia tahu itu semua. Ia mengenal hati yang hancur dan rumit tak karuan. Ia ada dan datang untuk memberikan pemulihan bagi mereka yang datang dan berharap kepada-Nya.

Ketiga, di ayat 35, Yesus di waktu pagi-pagi benar, mengambil waktu sendiri untuk berdoa. Di tengah himpitan banyak manusia dengan segala pergumulannya, Yesus mengkhususkan waktu menyendiri untuk berdoa. Yesus sedang melakukannya sendiri, tidak mengajak mudir-murid-Nya. Hal ini menandakan bahwa Ia tak sedang mengajar tentang arti doa, namun Ia melakukannya dengan sadar dan privat. Kita bisa menangkap laku Yesus ini sebagai sebuah kesadaran spiritual bagaimana seseorang seharusnya tetap memelihara konektivitasnya kersama Allah (intimacy with God) dengan menjaga disiplin doa. Yesus memiliki keseimbangan laku ritual dan fungsi-Nya. Ia tidak terjebak melakukan ini-itu dan menjadi kelehahan (burn out), namun Ia tetap melakukan doa dan permenungan pribadi.

Hal ini menjadi sorotan khusus bagi para pelayan-pelayan di gereja. Tuntutan keberhasilan program berbasis indikator yang njlimet yang dibuntuti evaluasi berkepanjangan seringkali membuat seorang pelayan mengalami ketimpangan para pelaku diakonia. Rentetan jadwal dan agenda sering menyeret para pelayan menjadi robot pelaksana program kerja gereja yang tak jarang membuat mereka ‘kehausan’. Misalnya saja, panitia Natal atau Paska. Semua panitia akan terpaku pada rundown, konsumsi, AC ruangan, dan tetek bengek lainnya. Bahkan, saat doa, semua panitia akan ribut sendiri dan tak jarang menimbulkan kegaduhan di bagian belakang ruang ibadah. Yang terjadi di akhir perayaan adalah kelegaan karena kuantitas kehadiran dan konsumsi yang tidak kurang. Fenomena semacam ini harus diwaspadai oleh semua pelayan, termasuk seorang pendeta. Kita sebagai para pelayan Allah, tidak hanya bertugas mengartikulasikan sentuhan kasih Allah kepada seluruh umat, namun kita juga diajak menari dalam tiap gerak pelayanan yang dibangun. Yesus mengajarkan kepada setiap kita untuk menjaga keseimbangan itu. Jika boleh dibahasakan, kita semestinya memiliki keseimbangan dalam dimensi struktural dan ritual.

Keempat, ada hal menarik yang perlu kita renungkan. Dalam pembuka perikop ini, dimulai dengan kata ‘sekeluarnya’. Yesus setelah keluar dari rumah ibadat, langsung menuju ke rumah Simon Petrus, yang ternyata mertuanya sedang mengalami sakit demam. Mengapa Yesus tiba-tiba saja pergi ke sana? Mungkin ada yang menjawab dalam hati, “kan Yesus Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Ia tahu dimana umat yang menantikannya”. Jawaban itu tidak salah, namun bukankah Ia pergi sana bersama Yohanes dan Yakobus? Meski tidak dijelaskan secara tekstual, ada kemungkinan besar bahwa Yohanes dan Yakobus lah yang menginfokan perihal sakitnya ibu mertua Simon kepada Yesus. Di sini kita bisa merenungkan sebuah poin sederhana mengenai tema kita, yakni Sentuhan Kasih Allah. Kadang kala, kita tidak berperan besar dalam pergumulan orang lain, namun bagaimana kita dengan sadar mengambil peran kecil di dalamnya, yakni menginfokan pergumulan saudara kita kepada Tuhan dalam doa. Doa kita kepada Allah sesungguhnya tidak semestinya berisi tentang kebutuhan pribadi, namun mengingat keresahan dunia di sekitar kita. Pada akhirnya, kita bisa mencontoh Yakobus dan Yohanes, yakni bukan hanya ‘menyampaikan’ keresahan itu kepada Yesus, namun akhirnya  pergi kepada seseorang yang sedang sakit, dan kita tahu, Yesus ada bersama langkah-langkah kita. Sentuhan Kasih Allah itu bisa terwujud dalam kesadaran, bahwa kita juga bisa membuat orang-orang merasakannya, karena Yesus ada bersama kita.

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar