Sabtu, 22 Februari 2025

LEBIH DARI YANG BIASA

 Kej. 45 : 3 - 11, 15; Mzm. 37 : 1 - 11, 39 - 40; 1 Kor. 15 : 35 - 50; Luk 6 : 27 - 38

 

Saudara, kita semua adalah orang-orang yang terluka. Dan hari ini kita mau belajar seseorang yang juga pernah terluka bernama Yusuf. Kej. 45 berkisah tentang pertemuan Yusuf dan saudara-saudaranya setelah sekian tahun tidak berjumpa. Kita tahu Yusuf punya masa lalu yang sangat pahit dengan saudara-saudaranya yang dengan tega melukai, dan menjualnya.

Tapi melalui bacaan hari ini, kita menyaksikan bahwa Yusuf yang kala itu sudah menjadi (ay. 8) bapa bagi Firaun, tuan atas seluruh istananya serta pemegang kuasa atas seluruh tanah Mesir berjumpa kembali dengan orang-orang yang melukainya.

Sebagai manusia yang terluka, kita tahu bahwa Yusuf punya pilihan untuk balas dendam. Ia  punya kesempatan untuk membuang saudara-saudaranya, supaya mereka tahu bagaimana rasanya sebagai Yusuf yang hancur dan sakit hati atas peristiwa yang pernah ia alami dari mereka. Tapi saudaraku, sekalipun ada pilihan untuk balas dendam itu terbuka begitu lebar dan Yusuf sangat bisa memilih jalan itu. Namun, Yusuf justru memilih jalan yang lain.

Bacaan mengungkapkan bahwa:

  1. Yusuf memilih untuk memperkenalkan diri pada saudaranya - pada  orang yang sangat melukainya.  (ay. 3) Ia berkata “Aku ini Yusuf.” Yusuf masih ingat saudara-saudaranya dan mulai dulu memperkenalkan diri kepada mereka. Padahal bisa saja dia diam-diam dari mereka.
  2. (ay. 4) Yusuf juga berkata “Mendekatlah kepadaku.” Padahal ada opsi ia membuang dan mengabaikan mereka.
  3. Yusuf tidak tanggung-tanggung tindakannya. (ay. 10 - 11) Dia akan mengajak keluarganya pindah dan tinggal di tanah Gosyen untuk dekat dengannya dan di sana “aku akan memelihara engkau, katanya”.
  4. (15) Yusuf mencium semua saudaranya dan menangis pada bahu mereka. Dan tangisan ini sebagai luapan ampunan bercampur senang dari dalam diri Yusuf kepada saudara-saudaranya.

Mengetahui apa yang Yusuf lakukan, sangat mungkin kita bilang, Yusuf nda salahkah? Ubur-ubur ikan lele. Itu salah besar leee.Dilukai itu harusnya balas bukan balik!

Saudara, mungkin isi pikiran kita yang maunya Yusuf mengikuti skenario yang ada di kepala kita. Tapi justru Yusuf memilih jalan yang lain. Kenapa?

  1. Yusuf tidak mau menjadi biasa. Ia yang memilih dan memutuskan untuk menjadi lebih dari yang biasa. Iya move on dengan cara yang berkelas. Bukan mata ganti mata, gigi ganti gigi. Karena nanti tidak akan usai, malah makin nda selesai.

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India mengatakan, “Jika manusia menggunakan filosofi mata ganti mata, gigi ganti gigi. Maka dunia akan dipenuhi dengan orang-orang yang buta dan ompong.” Karena akhirnya, akan terus saling melukai, saling menyakiti dan makin jauhlah relasi.

Pemazmur juga berkata, jangan marah karena orang yang berbuat jahat. Jangan iri pada orang yang berbuat curang. Mereka segera lisut bagaikan rumput dan layu seperti tumbuhan hijau. Artinya, mereka nda punya daya lama. Akan ciut. Tidak bertahan lama. Santai. Woles. Nda usah jadi biasa. nanti akan jadi lisut dan layu.

  1. Karena Yusuf berefleksi (Kej. 45 : 5, 7 - 8) bahwa kondisi masa lalunya, awalnya mungkin terlihat sebagai batu sandungan yang membuatnya jatuh dan merana. Tapi sesungguhnya itu bukan batu sandungan tapi batu loncatan dari Allah, supaya akhirnya Yusuf dipakai Tuhan untuk menyelamatkan hidup banyak orang di Mesir dan sekitarnya, termasuk hidup keluarganya. Itu sebabnya Yusuf mengatakan, bukan kamu yang mengutus aku ke sini melainkan Allah.

Tapi untuk belajar bersikap lebih dari yang biasa. Kita bukan hanya mau belajar dari Yusuf, tetapi juga dari pengajaran Yesus dalam Lukas 6.

Sebab Yesus mengatakan untuk jadi lebih dari biasa kita harus pake:

  1. Kasih

Kasihi musuh bukan hanya lewat perkataan tetapi juga perbuatan, dengan berbuat baik   pada mereka, berdoa bagi mereka yang membenci, mengutuk dan yang berbuat jahat kepada kamu. Nda mudah? Yess. Itu sebabnya kalau mau mengasihi. Kita juga akan

  1. Berkorban

Siap mengasihi = siap berkorban

Siap mengasihi = siap terluka (ditampar pipinya)

Siap mengasihi = siap kehilangan (jubah dan baju) - hal yang disukai

Tapi tindakan kasih dan berkorban ini kita lakukan untuk menjadi pribadi yang

  1. Murah hati (Yun. eleemon = berbelas kasihan)

            Sama seperti Bapamu murah hati (berbelas kasih)

Dan belas kasihan ini efeknya tidak akan menghakimi, tidak menghukum, memberi yang baik termasuk pengampuanan. Karena sadar bahwa kita juga adalah orang-orang yang menerima belas kasihan Allah.

Jemaat Tuhan terkasih, hari ini kita sama-sama mau dipesankan

  1. Dalam hidup, kita sangat mungkin dilukai oleh orang-orang di sekitar kita
  2. Bukan apa yang orang lakukan, yang menentukan siapa kita tapi apa yang kita tentukan, itulah yang menentukan diri kita! Mari kita pilih bukan yang biasa saja tapi lebih dari yang biasa.
  3. Mari menjadi lebih dari biasa dengan membiasakan melakukan kasih, berkorban, terus murah hati.

Tuhan menolong kita semua. Amin. -mC-

Kamis, 09 Januari 2025

BAPTISAN: HIDUP BERKENAN KEPADA-NYA

Minggu Pembaptisan Tuhan
Yesaya 43:1-7 | Mazmur 29 | Kisah Para Rasul 8:14-17 | Lukas 3 :15-17, 21-22


Minggu ini kita mengingatrayakan Pembaptisan Tuhan kita, Yesus Kristus. Baptisan sendiri begitu penting dalam kehidupan kekristenan. Bagi orang-orang Protestan, baptisan adalah salah satu dari dua sakramen yang dijalankan dan dihayati sebagai tanda dan meterai atas perjanjian Allah; tanda yang kelihatan dari anugerah keselamatan Allah yang tak terlihat; tanda bahwa kita telah dipersatukan dalam tubuh Kristus. Namun, jika berbicara mengenai baptisan, perbedaan tradisi menjadi isu yang serius. Walaupun baptisan mempersatukan kita dalam tubuh Kristus, baptisan juga menjadi salah satu sumber perpecahan, justru karena masalah yang tidak esensial, cara. Padahal cara itu bukan sesuatu yang penting. Baptisannya saja tidak menyelamatkan, apalagi caranya. Salah satu yang penting dari baptisan adalah maknanya.

Pembaptisan Yesus sendiri tentu memiliki banyak makna yang bisa kita ambil, dan mungkin banyak dari antara kita yang sudah memahami arti atau makna dari pembaptisan Yesus. Dalam bacaan injil Minggu ini, dikatakan bahwa Yohanes berseru, “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis” (Luk. 3:3). Seruan untuk dibaptis di sini diawali dengan seruan untuk bertobat. Dengan demikian, baptisan yang diberikan Yohanes di sini adalah tanda pertobatan. Namun, kita juga tentu memahami bahwa Yesus adalah pribadi yang tidak berdosa, karena Ia adalah Pribadi dari Allah Trinitas. Jika Yesus tidak berdosa, lalu untuk apa Ia menerima baptisan tanda pertobatan?

Setidaknya ada dua alasan Yesus memberi diri dibaptis. Pertama, Yesus memberi teladan dan dukungan. Yohanes adalah nabi pertama setelah empat ratus tahun tidak muncul seorang pun nabi di Israel. Karena itu, banyak orang yang menghormati Yohanes, dan mengikuti pengajaran-pengajarannya. Pada saat itu juga, Yesus akan memulai pelayanan-Nya sebagai guru/rabi. Seorang guru akan dihormati jika ia melakukan sesuatu yang dianggap baik sehingga menjadi teladan bagi murid-muridnya. Yesus memberi diri dibaptis untuk menunjukkan bahwa Dia pun seorang guru, sambil memberi teladan kepada orang banyak untuk bertobat serta mendukung pelayanan yg dilakukan Yohanes. Kedua, pertobatan itu bukan pertobatan individual, melainkan pertobatan komunal. Seruan Yohanes untuk bertobat adalah seruan kepada seluruh bangsa, untuk bertobat sebagai sebuah bangsa yang telah berdosa di hadapan Tuhan. Yesus dibaptis dan bertobat bukan karena Ia secara individual telah berdosa, tetapi karena Ia adalah bagian dari suatu bangsa yang telah berdosa. Pembaptisan-Nya adalah bentuk pertobatan secara komunal, sekaligus untuk menyatakan pengampunan dari Allah.

Selain kedua alasan itu, ada makna yang utama soal pembaptisan Yesus. Sesudah Yesus dibaptis, terdengarlah suara dari surga: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Luk. 3:22). Ini adalah penegasan dari Allah yang menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Jadi pembaptisan Yesus juga sebenarnya mau menegaskan bahwa diri-Nya adalah Anak Allah. Baptisan bukan hanya soal pertobatan dan pengampunan, tetapi juga soal relasi. Namun demikian, bukan berarti bahwa Yesus menjadi Anak Allah setelah Ia dibaptis. Yesus memang adalah Anak Allah, dan baptisan adalah afirmasi atau penegasan dari Bapa sendiri mengenai Yesus sebagai Anak yang dikasihi-Nya.

Afirmasi. Saudara-saudari, dalam dunia maya dan platform digital sekarang afirmasi itu sesuatu yang sangat penting. Kalau anda mengepos sesuatu di media sosial, entah status, foto, video, tweet atau apa pun itu, entah di Instagram, X, Tiktok, atau Facebook, pasti harapannya ada yang menyukai (like) posting-an. Bukan hanya posting-an, sekarang ini ada fenomena like komentar yang banyak. Orang yang komentarnya disukai oleh banyak orang, bahagianya luar biasa. Bahkan ada pula yang  meminta komentarnya disematkan biar menjadi komentar yang paling atas, padahal kita belum tentu kenal siapa dia dan dia juga belum tentu kenal siapa kita. Lalu kalau like-nya sedikit, bukan tidak mungkin kita agak kecewa. Afirmasi di media sosial ini bukan sesuatu yang akan bertahan selamanya, bahkan sesuatu yang dangkal. Namun, kita membutuhkannya. Mengapa? Karena kita makhluk sosial. Karena itu pula kita mendambakan penegasan atau afirmasi dari orang lain. Media sosial membuat persepsi itu, bahwa kita terhubung dengan banyak orang, dan diafirmasi oleh banyak orang.

Namun demikian, apa yang terjadi pada Yesus bukan sekadar afirmasi atau penegasan, melainkan perkenanan. "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan". Penegasan sekaligus perkenanan inilah yang melandasi seluruh identitas Yesus sebagai manusia yang berkarya dalam dunia. Pembaptisan Yesus ini yang menjadi landasaan keseluruhan karya Kristus. Bahkan sampai kematian dan kebangkitan-Nya, tidak lepas dari perkenanan Allah dan identitassebagai Anak Allah yang dikasihi. Ketika Ia menghadapi momen tergelap dalam hidupnya, Yesus tidak mundur. Ia tetap melakukan kehendak Bapa-Nya, karena Ia tahu Ia diperkenan, ia dicintai Sang Bapa, dan itu cukup. Ia tidak perlu pembuktian diri, karena cinta dan perkenanan Allah sudah cukup.

Inilah alasan mengapa baptisan itu sangat penting. Dengan baptisan kita memang mengalami pengampunan. Namun, yang lebih utama adalah soal relasi. Dengan baptisan di dalam bersama Kristus, kita pun diafirmasi sebagai anak-anak Allah. Tidak hanya itu, kita dicintai oleh Allah yang berkenan kepada kita. Karena itu, baptisan juga adalah penegasan status kita sebagai anak-anak Allah, sehingga setiap kali kita mengenang janji baptisan melalui pengakuan iman, kita pun diingatkan akan itu. Dengan mengenang janji baptis kita, kita selalu diingatkan bahwa kita dicintai. Karena itu, tidak perlu cari pengakuan dan afirmasi dengan banyak tingkah. Kita yang dibaptis bersama Kristus, kita pun dicintai dan diperkenan Allah. Itu cukup. Cinta dan perkenanan Allah itu lebih dari cukup.

Cinta-Nya dinyatakan lewat penyertaannya sehari-hari; lewat udara yang kita hirup; lewat keluarga atau sahabat yang ada dan mendukung kita; lewat rekan kerja atau rekan pelayanan yang suportif; lewat pekerjaan kita yang membuat kita merasa hidup dan berguna; lewat makanan dan minuman sehari-hari. Bahkan momen tergelap dalam hidup kita pun Ia tidak pernah meninggalkan kita, sebagamana Ia tidak pernah meninggalkan Yesus, Anak-Nya. Dengan mengenang janji baptis kita dalam Pengakuan Iman, kita selalu diingatkan dan disadarkan  bahwa kita adalah anak-anak yang dikasihi dan diperkenan Allah. Karena itu kita pun seharusnya hidup sebagai anak-anak Allah, berperilaku, berpikir, bertindak sebagai anak-anak Allah yang hidup dalam cinta dan perkenanan-Nya. (ThN)

Jumat, 06 Desember 2024

Persiapkanlah Jalan bagi Tuhan! (Minggu Adven II)

 Minggu Adven II 

PERSIAPKANLAH JALAN BAGI TUHAN! 

Maleakhi 3:1-4, Lukas 1:68-79, Filipi 1:3-11, Lukas 3:1-6


Dalam menggarap sebuah acara, baik besar atau kecil, ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan:

Pertama adalah persiapan. Persiapan adalah masa yang menunjukkan kesibukan setiap orang yang berpartisipasi dalam membagi ide, membagi tugas atau peran, sampai mempersiapkan semua hal secara terperinci. Persiapan dimulai sejak jauh hari sampai beberapa jam sebelum acara dimulai. 

Kedua adalah pelaksanaan. Pada umumnya, pelaksanaan menyangkut jalannya rangkaian acara dari awal sampai akhir. Pada acara-acara tertentu, pelaksanaan membutuhkan respons dari orang-orang yang berpartisipasi dalam acara tersebut. 

Ketiga adalah kelanjutan. Isinya adalah penilaian dan tindakan berikutnya agar acara yang sudah berjalan dapat dinilai secara terukur sehingga menjadi modal yang baik untuk acara selanjutnya.

Pada intinya, ketiga hal ini saling berkaitan dan tidak boleh dilupakan. Kalau persiapannya baik, maka pelaksanaan dan penilaiannya juga baik. Pelaksanaan yang baik akan menghasilkan pengalaman berkesan sehingga proses kelanjutannya dapat menjadi semakin baik. Kelanjutan yang baik akan menolong persiapan dan pelaksanaan acara berikutnya menjadi semakin sempurna.


Terkait dengan keempat bacaan leksionari hari ini, maka keempatnya memuat unsur yang hampir sama, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan kelanjutan

Dari Maleakhi 3:1-4, berita tentang kehadiran Allah di tengah kehidupan menjadi dasar persiapan dengan adanya utusan yang mempersiapkan jalan di hadapan Tuhan (ay.1), sehingga dalam pelaksanaannya, Allah yang hadir dapat berkarya dengan cara memurnikan, mentahirkan, dan menyucikan (ay.2-3). Oleh karena semua itu dipersiapkan dengan baik, maka manusia dapat melanjutkan dengan tindakan pemberian persembahan yang menyenangkan hati Tuhan seperti yang sudah-sudah (ay.4). 

Dari Lukas 1:68-79, kemuliaan Allah menjadi pujian Zakharia, yang menunjukkan persiapannya dengan mengingat segala sesuatu yang sudah terjadi pada masa lalu (ay. 70-75), menceritakan apa yang sedang terlaksana (ay.68-69), untuk waktu kelanjutan yang akan datang (ay.76-79).

Dari Filipi 1:3-11, kita juga belajar bahwa Paulus mempersiapkan umat-Nya dengan menceritakan apa yang sudah terjadi (ay.1-5), menegaskan karya yang ia kerjakan sebagai pelaksanaan di saat tersebut (ay.6-8), sehingga pada kelanjutannya ia mengharapkan yang baik itu terus terjadi di tengah kehidupan jemaat (ay.9-11).

Dari Lukas 3:1-6, kita belajar bahwa seruan Yohanes Pembaptis untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya di tengah konteks yang tidak mudah adalah hal yang sudah harus dikerjakan (ay.1-2). Seruan pertobatan dan pembatisan adalah tindakan pelaksanaan yang  nyata bagi yang sungguh-sungguh bersiap menyambut Dia (ay.3-6). Jika kita teruskan pembacaan kita pada ayat-ayat berikutnya, maka kita akan melihat kelanjutan tindakan dan harapan yang diberitakan kepada banyak orang (ay.18). 


Dari sini kita belajar  bahwa mempersiapkan jalan bagi Tuhan bukan hanya tindakan rutinitas tahunan ketika kita ditegur atau diingatkan, tetapi ketika kita memasuki Minggu Adven kedua kita harus bisa mempersiapkan, melaksanakan, serta melanjutkan semua karya keselamatan Allah dalam kehidupan kita.

Persiapan: di Minggu Adven kedua ini, marilah kita mempersiapkan diri kita sendiri untuk menerima pertobatan. Semua kasih Allah yang sudah pernah dilakukan-Nya menjadi alasan bagi kita untuk tidak lagi menunda dan tidak lagi jatuh ke dalam dosa.

Pelaksanaan: di Minggu Adven kedua ini, kita semakin sadar bahwa fokus dari Adven adalah untuk mempersiapkan kita menyambut Yesus yang lahir di tengah dunia. Jangan sampai, semua kesibukan acara Natal, panitia Natal, aktivitas akhir tahun malah membuat kita kehilangan makna Natal.

Kelanjutan: kasih dari Allah harus terus dilanjutkan, sehingga semakin banyak orang yang merasakan bahwa sukacita atas kelahiran-Nya tidak terjadi pada momen tertentu saja, tetapi terus bergema, seperti Firman dalam Maleakhi, seperti pujian Zakharia, seperti sukacita Paulus, dan juga seperti suara Yohanes Pembaptis.


Kita hidup di masa kini dengan Minggu Adven kedua yang juga tidak jauh dari nilai dan tantangan kekinian. Marilah memasuki Minggu Adven kedua dengan persiapan, pelaksanaan, dan kelanjutan yang semakin mengarahkan kita pada Tuhan Yesus Kristus! (RA)

Rabu, 09 Oktober 2024

KELUARGA YANG MENOLAK EGOSENTRISME

Minggu Biasa XXVIII
Amos 5:6-7, 10-15 | Mazmur 90:12-17 | Ibrani 4:12-16 | Markus 10:17-31

Selain menggunakan perumpamaan, yang jarang diketahui orang adalah Yesus juga mengajar menggunakan aforisme, yakni pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum dan biasanya dicetuskan oleh tokoh yang penting. Dalam dunia filsafat, aforisme adalah gaya bahasa dalam kalimat-kalimat pendek yang mudah dicerna secara harafiah, tetapi sulit dipahami maknanya. Dalam teks Injil Minggu ini, Markus 10:17-31, perkataan Yesus yang merupakan aforisme adalah, "Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (ay. 25).

Bagaimana mungkin seekor unta melewati lubang jarum? Sungguh sulit dipahami. Namun, ada beberapa penafsiran untuk melogiskan perkataan ini. Tafsir pertama, yang lebih tua, berasal dari Bapa Gereja Cyrillus dari Alexandria. Ia pernah menyatakan bahwa kata "unta" yang dimaksud di sini bukanlah hewan pengangkut beban yang hidup di gurun, melainkan tali besar atau tali kapal. Menurutnya, ini merupakaan kesalahan pengejaan dalam Alkitab Bahasa Yunani. Seharusnya yang ditulis adalah καμιλος (kamilos) yang berarti 'tali besar' atau 'tali kapal', tetapi karena kesalahan eja menjadi καμηλος (kamelos) yang berarti 'unta'. Dengan ini, aforisme Yesus ini lebih masuk akal, karena tali adalah benda panjang seperti benang, walaupun tetap tidak mungkin memasukkan tali kapal melewati lubang jarum. Setidaknya masih lebih pada tempatnya daripada unta melewati lubang jarum. Hanya saja tafsiran ini kurang begitu populer bagi banyak kalangan.

Tafsiran yang cukup populer dan sering dipakai adalah tentang pintu lubang jarum. Lubang jarum diklaim sebagai sebuah gerbang kecil pada tembok kota yang dibuka setelah gerbang utama ditutup pada malam hari. Pintu lubang jarum itu berukuran kecil, hanya seukuran seekor unta. Biasanya jika para pedagang –yang membawa unta tentunya– pulang ke kota pada malam hari dan pintu gerbang utama telah ditutup, mereka akan masuk melalui gerbang lubang jarum. Akan tetapi, biasanya unta-unta itu membawa muatan di pundaknya sehingga muatan itu harus diturunkan dulu dan untanya harus menunduk agar dapat melalui pintu lubang jarum itu. Unta yang harus melepaskan muatan dan menunduk untuk masuk pintu lubang jarum disejajarkan dengan orang kaya yang harus melepaskan hartanya dan menundukkan dirinya untuk dapat masuk Kerajaan Allah. Namun, ini merupakan cerita pesudo-historis. Telah banyak penelitian dilakukan dan tidak pernah didapati bukti keberadaan pintu lubang jarum di Palestina. Cerita ini ternyata telah ada setidaknya sejak abad ke-15, dan mungkin dapat dilacak sejak abad ke-9. 

Upaya penafsiran untuk melogiskan "unta masuk lubang jarum" terlihat berfokus pada soal kekayaan dan materi, tentang bagaimana seseorang harus meninggalkan kemelekatan hal-hal material untuk dapat menerima kehidupan abadi. Memang perikop ini sering dipakai untuk berbicara soal kekayaan. Namun, perkataan Yesus itu tidak perlu dilogiskan untuk memahami soal kekayaan. David Lose, pendeta Gereja Lutheran Amerika Serikat, menawarkan sebuah penafsiran dari teologi Lutheran lama (…in the Meantime: Curing Our Heartsickness, 2015). Yesus sebenarnya tidak memaksudkan perkataan itu untuk bicara soal kekayaan dan kemelekatan. Perkataan itu lebih merupakan ilustrasi untuk menunjukkan ketidakmampuan mutlak ciptaan mendapatkan keselamatan atau kehidupan abadi, dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah saja.

Mari memperhatikan bagaimana orang muda yang kaya itu datang menemui Yesus. Kisah ini diawali dengan kalimat “... datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil berlutut di hadapan-Nya …” Orang itu datang dan bertelut di hadapan Yesus. Injil Markus mecatat beberapa kali orang datang dan bertelut, berlutut, atau tersungkur di hadapan Yesus (Mrk. 1:40; 3:11; 5:22; 5:33; 7:25) dan kesemuanya itu adalah orang-orang sakit –atau kerabat orang sakit– yang meminta kesembuhan kepada Yesus. Orang-orang itu tidak mampu untuk mendapatkan pemulihan dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Tuhan. Dengan dasar ini, sebenarnya Injil Markus mau memperlihatkan ketidakmampuan si orang muda yang kaya ini untuk mendapatkan keselamatan atau hidup yang abadi, dan seharusnya dia bergantung mutlak pada Tuhan. Orang kaya ini termasuk dalam golongan orang-orang sakit yang bertelut dan tersungkur di hadapan Yesus, yang membutuhkan pemulihan dari Allah.

Lalu, apa penyakit orang muda yang kaya ini? Penyakitnya adalah ketidakpedulian dan egosentrisme. Ia memang memiliki pemahaman yang mantap tentang Hukum Taurat, bahkan ia menuruti semuanya itu; menghormati orang tua, tidak membunuh, tidak berzina, tidak mencuri, tidak mengucapkan saksi dusta, tidak mengurangi hak orang. Jika kita perhatikan, semua yang ducapkan Yesus di ayat 19 –dan sudah dilakukan orang muda ini– adalah hukum yang mengatur relasi dengan sesama. Yesus sepertinya sengaja mengungkapkan keenam hukum ini untuk berbicara soal relasi dengan orang lain. Di sinilah “penyakit” orang kaya itu terlihat. Semua yang dia lakukan itu berpusat pada dirinya sendiri sebagai ketaatannya pada hukum, bukan karena kepedulian terhadap orang lain. Itu sebabnya ketika Yesus menyuruhnya untuk menjual hartanya dan berbagi dengan orang miskin, dia menjadi kecewa. Yesus menantangnya untuk melakukan sesuatu melampaui hukum, untuk bertindak bukan karena aturan dan hukum, dan dia gagal menanggapi tantangan Yesus itu. Dia tidak memiliki kepedulian dan belarasa kepada orang miskin, sehingga ia memikirkan kerugian dirinya jika harus menjual hartanya dan membagikannya dengan orang miskin. Jadi, ketika Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang memiliki banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah", alasannya adalah karena banyak orang kaya yang lebih memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan untung-rugi sehingga kehilangan kepedulian dan rasa keadilan. Mereka melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri dan keberatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

Nabi Amos, dalam bacaan pertama (Am. 5:6-7, 10-15), juga menyuarakan kritik atas tindakan yang menindas untuk kepentingan diri sendiri. Kerajaan Israel di Utara pada waktu itu mengalami kemakmuran setelah kekalahan Siria oleh Asyur, sehingga mereka dapat membangun perdagangan yang menguntungkan. Hanya saja, kemakmuran itu hanya dirasakan oleh para pedagang dan raja-raja. Mereka tidak memperhatikan kaum petani dan orang-orang miskin, bahkan orang-orang kaya ini sering menindas yang miskin. Dalam kehidupan beragama, mereka sangat taat menjalankan semua ritual dan memberikan persembahan kepada Allah –yang didapat dengan memeras kaum miskin. Karena itu, Allah tidak senang dengan ibadah mereka dan mengutus Nabi Amos dari Tekoa di Yehuda untuk menubuatkan kehancuran Israel (ay. 2-3). Allah  memberikan kesempatan bagi Israel untuk dipulihkan. Namun, caranya bukan dengan segala ibadah ritual yang hanya berpusat pada diri sendiri. Mereka harus dipulihkan dari segala ketidakadilan, penindasan, dan kepura-puraan yang mereka lakukan melalui ritual-ritual kosong dan persembahan yang didapat dari pemerasan. Tuhan memberikan kehidupan bagi mereka jika mereka berlaku adil, tidak memeras dan menindas, serta peduli kepada orang lain.

Saudara-saudari, dari Firman Tuhan hari ini kita belajara bahwa kehidupan abadi itu bukan soal taat menjalankan hukum atau ritual agama, melainkan kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kehidupan bukan soal berbicara tentang keadilan, melainkan memberlakukan keadilan; bukan soal mencari hidup, melainkan berbagi hidup; bukan hanya tidak melakukan yang jahat, melainkan melakukan yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Oleh karena itu, untuk  mendapatkan hidup yang abadi dalam Kerajaan Allah, Yesus mengajak kita untuk peduli, berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan berlaku adil kepada sesama. Kita harus dipulihkan dulu dari egosentrisme dan ketidakpedulian yang menghalangi dia untuk menerima kehidupan. Kita perlu mengarahkan diri kita bukan pada diri sendiri, melainkan kepada Allah dan kepada dunia yang dikasihi Allah ini.

(ThN)

Jumat, 04 Oktober 2024

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

 

KELUARGA YANG MEMPERJUANGKAN PERSATUAN

(MINGGU BIASA)

Kejadian 2:18-24 | Mazmur 8 | Ibrani 1:1-4, 2:5-12 | Markus 10:2-16

 

In A Relationship

“In a relationship”. Kira-kira demikianlah simpulan dari bacaan leksionari pada minggu ini. Dari situlah juga, kita berangkat untuk merefleksikan bahwa “in a relationship” bukanlah sebuah status di media sosial yang biasanya dipamerkan untuk menunjukkan hubungan yang dekat dengan seseorang, tetapi “in a relationship” merupakan relasi yang terus-menerus dibangun tanpa henti.

 

Karya Allah untuk Kehidupan Manusia

Dalam keempat bacaan kita pada hari ini, kita menemukan bahwa sesungguhnya Allah yang terlebih dahulu berkarya untuk kehidupan kita semua. Karya Allah yang sungguh-sungguh nyata itu membuat manusia bisa memiliki relasi yang baik dengan Tuhan dan juga dengan sesama.

 

Kitab Kejadian memberikan kesaksian bahwa Allah sudah berjuang untuk turut serta menghadirkan relasi yang baik untuk kehidupan manusia ciptaan-Nya, sehingga kita sadar bahwa sejak penciptaan, Allah berperan supaya manusia menjadikan mereka satu dalam relasi yang diperkenankan oleh Allah. Bukan karena sebatas keinginan manusia, tetapi juga ada kehendak dan karya Allah di dalamnya.

 

Kitab Mazmur memberikan penggambaran bahwa manusia yang sadar bahwa Allah yang benar-benar berjuang untuk kehidupannya akan meresponsnya dengan sungguh-sungguh juga berjuang memuliakan nama-Nya dan menjadikan Allah sebagai yang utama di dalam kehidupannya.

 

Sejalan dengan itu, Surat Ibrani juga menunjukkan bahwa upaya membangun relasi ditunjukkan lewat peran serta Allah melalui karya keselamatan dalam Yesus Kristus, yang bersedia untuk berjuang dalam mengalami penderitaan, kematian, dan kebangkitan demi menebus dosa manusia. Inilah keseriusan Allah dalam menyelamatkan manusia.

 

Maka dari itu, kerinduan kita untuk selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan diwujudkan juga dalam hidup bersama dengan orang-orang yang sudah Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita setiap hari, yaitu anggota keluarga kita, sahabat kita, rekan sekerja kita, saudara-saudari kita di gereja dan pelayanan kita, serta juga orang-orang lain yang Tuhan hadirkan di tengah kehidupan kita, akan menjadikan kita memiliki relasi yang sehat itu.

 

Memperjuangkan, Artinya Mengingat Sudah Dipersatukan (Mrk.10:2-9)

Di hadapan orang banyak, Yesus memperkenankan semua orang untuk belajar bahwa kehidupan manusia itu sejak awal dipersatukan oleh Allah. Dalam kasus bacaan kita, Yesus diperhadapkan dengan tatanan hidup orang-orang Israel pada masa itu yang berdasar pada ajaran Musa untuk dapat bercerai karena bangsa-Nya begitu keras hati. Akan tetapi, Yesus meluruskan ajaran kasih Allah yang menyelamatkan itu, yaitu dengan menekankan bahwa relasi yang dibangun dalam Allah, menjadikan setiap orang menjadi satu. Suzeugnumi (yang telah dipersatukan): diikat, tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Allah sendiri tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya. Allah selalu hadir dalam kehidupan kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita hayati dengan pemahaman bahwa Tuhan sudah, sedang, selalu bersungguh-sungguh menghadirkan karya terbaik bagi kehidupan kita semua.

 

Maka, Sakramen Perjamuan Kudus, selain sakral, sifatnya juga mempersatukan kita semua dalam relasi yang tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Perhatikan kalimat dalam Persiapan Perjamuan Kudus dan Pengantar: Apakah kita hidup dalam damai dengan Allah? Apakah kita hidup dalam damai dengan sesama kita: dengan istri atau suami, dengan orang tua atau anak, dengan saudara-saudara, dengan teman dan tetangga, dan dengan siapapun yang kita jumpai dalam kehidupan kita? Di dalam ketidaksempurnaan kita, kita percaya Allah menyucikan kita dari segala dosa kita, membarui hidup kita,

 

Karena itulah, kita pun akan dipersatukan dalam kasih Kristus melalui Perjamuan Kudus yang akan kita terima pada minggu ini. Itu adalah wujud persekutuan dan dipersatukan Allah yang sangat nyata yang bisa kita rasakan. Apa pun kondisi kita, Allah mempersatukan kita semua dalam tubuh dan darah Kristus.

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Setia (Mrk.10:10-12)

Hal menarik yang juga ditampilkan oleh Yesus adalah ketika selesai berbicara di hadapan orang banyak, Yesus mengambil waktu bersama para murid-Nya untuk menjelaskan lebih mendalam ajaran-Nya. Yesus ingin menekankan bahwa ada nilai kesetiaan yang besar di dalam setiap relasi yang sehat. Yesus ingin agar para murid paham bahwa kesetiaan itulah yang dibutuhkan.

 

Kesetiaan akan diuji di sepanjang waktu. Semakin panjang usia kesetiaan kita, maka semakin besar juga kualitas kesetiaan kita. Hal ini berlaku untuk relasi kita dengan Tuhan kita, Yesus Kristus Sang Juruselamat, dan juga relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita simpulkan sebagai keinginan untuk terus-menerus membangun hubungan atas dasar kesetiaan yang kuat.

 

Jadi, jangan lagi bermain-main dengan kesetiaan! Yesus mulai menjelaskan tentang kesetiaan itu “ketika mereka sudah di rumah”, yang juga dapat direfleksikan bahwa kesetiaan itu harus dimulai dalam lingkungan terdekat kita, yaitu dari dalam rumah. Teruslah menjadi pribadi yang benar-benar setia: setia dalam Tuhan dan juga setia dengan kasih untuk orang-orang yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. Hidup bisa saja tidak abadi, tetapi kesetiaan kita di dunia akan jadi memori yang tidak akan terlupakan. Setialah dengan pasangan, setialah dengan pekerjaan, setialah dengan pelayanan dan mengasihi Tuhan!

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Buka Hati (Mrk.10:13-16)

Ketika mereka kembali bersama dengan orang banyak, ternyata orang-orang mengajak serta anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Para murid yang seharusnya sudah memahami bahwa cinta kasih itu berlaku untuk siapa saja, ternyata malah menghalangi anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus menyetarakan keinginan dan ketulusan anak-anak untuk berjumpa dengan-Nya seperti semangat untuk menyambut Kerajaan Allah.

 

Sebagai orang yang dewasa, kita sering membangun tembok pemisah antara kita dengan persahabatan kita. Kita membuat syarat dan ketentuan untuk membangun relasi, atau bahkan juga menyembunyikan banyak rahasia di hadapan orang yang kita kasihi hanya untuk menjaga relasi kita tetap baik-baik saja. Padahal, di dalamnya hancur luar biasa. Maka dari itu, “in a relationship” dalam bagian ini ingin mewartakan bahwa kasih Yesus yang ditampilkan-Nya memberikan teladan kepada kita untuk bersedia merobohkan setiap sekat pemisah. Sekat itu bisa berupa kebencian, kemarahan, dendam, pernah kecewa, pernah sakit hati, takut dilukai, dan lain sebagainya.

 

Jadi, jangan sekat hati dan tindakan jika kita tahu bahwa hari ini kita bisa membangun hubungan yang lebih baik. Walau mungkin kita pernah punya pengalaman tidak menyenangkan, tapi dalam kasih dan kemuliaan Tuhan, kita menemukan kekuatan. Berhenti untuk membuat tembok penyekat itu menjadi lebih tebal, menyimpan dendam, atau malah menebalkan hati kita untuk mereka yang sesungguhnya setulus hati mau menjadi sahabat dalam kehidupan kita. Karena di dalam Tuhan, setiap orang bisa dipakai untuk menghadirkan kebaikan dalam kehidupan kita.

 

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

Jika kita secara khusus menerapkan dalam keluarga, ingatlah bahwa seumur hidup kita “in a relationship”, bukanlah sebatas status tetapi itu adalah alur kehidupan kita, di mana kita harus selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan dengan keluarga kita: Kita dipersatukan Allah, Kita adalah orang-orang yang Setia, Kita bersedia membuka hati kita untuk kebaikan Tuhan lewat semua anggota keluarga dan orang-orang yang ada di dekat kita. (ra)

Sabtu, 28 September 2024

KARYA YANG TAK TERBATAS

 

(MINGGU BIASA)

Bil. 11 : 4 - 6, 10 - 16, 24 - 29; Mzm. 19 : 7 - 14; Yak. 5 : 13 - 20; Mrk. 9 : 38 - 50 

        

        Setiap orang dalam dunia ini lahir untuk berkarya. Bahkan setiap orang diberi Tuhan kemampuan yang berbeda untuk melakukan karya-karyanya. Ada yang berkarya sebagai dokter, pendeta, guru, teller bank, akuntan, tukang sampah, dan beragam karya lainnya yang dapat dilakukan. Mengapa manusia perlu berkarya? Bukan hanya supaya manusia itu bisa menghasilkan sesuatu atau untuk bertahan hidup, tetapi kita berkarya karena sejatinya Allah kita terus berkarya. Dan karya Allah yang tak terbatas itu diceritakan dalam bacaan hari ini.

        Di kitab Bilangan 11 menceritakan bagaimana bangsa Israel yang telah keluar dari tanah Mesir, sedang melakukan perjalanan ke tanah Kanaan. Dalam perjalanan itu, mereka sempat mengeluh pada Musa karena makanan yang sehari-hari mereka makan hanya manna. Sementara waktu di Mesir mereka dapat makan menu lainnya, yaitu mentimun, semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih (ay. 5). 

        Dalam kondisi makan manna tiap hari, mereka mengeluh, menangis dan mulai merana karena ingin makan menu yang lain, yaitu daging. Namun karena mereka di tengah padang gurun, tentu sangat sulit bagi mereka untuk mendapat menu mewah itu. Andaipun ada tidak bisa memenuhi ratusan orang Israel kala itu. Ketika mereka mengeluh pada Musa, yang Musa lakukan adalah mengeluh pada Tuhan. Sekalipun isi keluhan itu bukan menampakkan keberserahan Musa pada Tuhan, melainkan keraguan atas karya Tuhan (ay. 10 - 15). Padahal sebelumnya, Tuhan sudah menunjukkan karyaNya yang tak terbatas untuk Musa dan bangsa Israel dengan membebaskan mereka dari Mesir. Tetapi keraguan, tekanan, keinginan manusia yang berlebihan seringkali membuat manusia lupa akan karya Allah dalam kehidupan. 

        Di tengah-tengah kondisi itu, yang Allah lakukan adalah mengumpulkan para tua-tua Israel 70 orang dan menaruh Roh Tuhan pada mereka sehingga mereka mengalami kepenuhan seperti nabi (ay. 16, 24 - 25). Untuk apa Tuhan lakukan itu? Beberapa penafsir mengungkapkan supaya Musa yang kala itu panik dan tidak melihat karya Tuhan, dapat ditenangkan Tuhan melalui para nabi yang mengalami kepenuhan. Para nabi yang mengalami kepenuhan ini pun dapat memahami rencana Tuhan dan menenangkan ratusan orang-orang Israel kala itu. 

        Melihat bagian ini, kita dapat belajar bahwa Tuhan juga tetap berkarya untuk Musa dengan memakai para tua Israel untuk memahami rencana Tuhan dan mengerti kondisi Musa sebagai utusan Tuhan yang sedang dihimpit oleh keluhan orang Israel. Karya Tuhan juga tak terbatas karena di perikop selanjutnya Tuhan yang membawa burung-burung puyuh untuk menjadi santapan orang Israel. Ia memenuhi kebutuhan mereka yang ingin makan daging. Sungguh karya yang tak terbatas.  

        Itulah mengapa pemazmur juga dalam Mazmur 19 mengungkapkan keagungan dan pujianNya akan karya Tuhan. Sebab karya Tuhan bukan hanya terbatas pada manusia. Tetapi tak terbatas, sebab langit, bumi dan alam pun dapat menceritakan dan memberitakan karya dan perbuatan Tuhan. 

        Bahkan dalam Injil pun menceritakan, Tuhan pun dapat berkarya bukan hanya pada murid-murid Tuhan. Tetapi juga pada orang lain. Markus 9 menceritakan pengaduan Yohanes kepada Yesus sebab “kami melihat seseorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.” Namun Yesus justru berkata kepada mereka “Jangan kamu cegah dia! sebab, tidak ada seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” 

        Mengapa Yesus membiarkan? Karena Yesus pun mau mengajarkan kepada para muridNya bahwa karya Allah itu tanpa batas. Allah dapat memakai orang asing sekalipun, untuk menjadi berkat Tuhan. Maka Allah mengajak para muridNya untuk senantiasa mempunyai garam dalam dirimu (punya rasa, peka, guna, karya) dan hidup berdamai seorang dengan yang lain (ay. 50b) agar bisa saling berkarya untuk memuliakan Allah. 

Saudaraku, dari bacaan hari ini kita sama-sama mau belajar bahwa: 

  1. Karya Allah itu tak terbatas. Ia dapat berkarya dalam beragam cara entah itu dalam diri kita, melalui orang lain di sekitar kita atau melalui alam ini untuk menunjukkan bahwa Ia tanpa batas.
  2. Sayangnya kita seringkali sukar melihat karya Allah ketika kita dalam keraguan, tekanan atau keinginan yang berlebihan. Karena semua itu membuat dapat membuat kita lupa untuk melihat karya Allah yang telah tersedia. Mari fokuskan diri kita pada karya Allah yang ada, sehingga tak selamanya kita lupa akan karyaNya. Sebab Ia tak pernah lupa untuk berkarya dalam hidup kita. Belajarlah mencukupkan diri kita.
  3. Kita pun dipanggil bukan hanya mengetahui Allah kita terus berkarya. Tapi kita juga dipanggil untuk saling berkarya dengan mempunyai garam dalam diri kita agar kita bisa saling menjadi berkat Allah untuk sesama. 

Tuhan menolong kita semua. Amin (mc)

Rabu, 11 September 2024

Murid yang Sejati

 

Minggu Biasa

Yesaya 50:4-9 | Mazmur 116:1-9 | Yakobus 3:1-12 | Markus 8:27-38

Bacaan Injil Minggu ini berkisah mengenai dua hal yang berkesinambungan. Yang pertama adalah bagaimana Kristus mencoba menanyakan kepada murid-murid-Nya mengenai siapa dirinya, sedangkan yang kedua adalah ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk yang pertama. Apa yang hendak kita renungkan dalam balutan tema “Murid yang Sejati”?

Tentu ada maksud saat Yesus menanyakan pengenalan orang-orang tentang siapa diri-Nya. Awalnya, Yesus menanyakan kepada mereka siapa diri-Nya di mata orang banyak. Jawabannya beragam. Namun, Yesus seakan tidak menggubris itu. Yesus langsung mengubah haluan pertanyaan-Nya, yakni menurut mereka pribadi, bukan orang lain. Mari kita fokuskan pikiran kita bukan pada ragam jawabannya, namun arah pertanyaannya.

Kedua pertanyaan yang Yesus lontarkan mengisyaratkan bahwa Yesus menginginkan adanya pengenalan personal dan mendalam dari para murid. Yesus adalah tokoh populer pada saat itu yang mengakibatkan banyak spekulasi mengenai identitas-Nya. Namun, seakan Yesus mengajak para murid tidak memiliki pengenalan menurut apa kata orang atau berbasis “katanya”. Yesus menginginkan agar mereka mengenali-Nya dengan personal, karena memang demikian semestinya. Sebagai murid yang selalu mengiring Yesus kemana saja, semestinya mereka memiliki gambaran pengenalan akan siapa Yesus yang utuh dan mendalam.

Pengenalan yang mendalam sangat penting bagi murid-murid Kristus, termasuk kita saat ini. Menjadi murid Kristus di era ini juga bukanlah hal mudah. Ketika pondasi teologi tidak mendalam, akan sangat mudah mengalami guncangan ketika menghadapi paham-paham baru. Bila kita ingat isu Kristen Progresif yang terangkat ke permukaan melalui media sosial, beberapa kalangan Kristen panik. Banyak sekali react di Youtube, entah itu murni reaksi sebagai kontra-narasi yang edukatif, atau hanya sekadar latah. Tidak jadi soal, ketika kita melakukan kajian ulang, namun bukankah itu menjadi cerminan bahwa banyak orang Kristen yang luput memahami prinsip-prinsip Kekristenan, sehingga mudah sekali diterpa paham-paham –yang sebenarnya tidak— baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman iman saja masih ada PR besar dalam gereja.

Atau ada hal lain, ketika semakin banyak bertebaran konten-konten di media sosial yang menyajikan debat agama yang saling menjatuhkan. Misalkan ada pihak yang mengolok-olok Kristen dengan cara mencoba mendelegitimasi Alkitab, kita meresponsnya dengan kemarahan. Iya, kemarahan saja, karena tidak bisa menjawab dengan baik secara pemahaman personal. Marah ketika dicemooh, tapi nggak bisa jawab. Kadang juga ada yang membela iman Kristen dengan meyakinkan lantas hati kita berbunga-bunga, padahal belum tentu benar secara prinsip. Ini aneh. Sudjiwo Tejo, sebagai budayawan yang nyentrik itu pernah berkata kira-kira begini, “Bila orang menyalahkan imanmu dan kamu marah, membenarkan imanmu dan kamu bahagia, berarti kamu belum menemukan imanmu yang sejati.”

Yesus menitikberatkan pada pengenalan secara personal kepada dan bersama diri-Nya menjadi sangat penting. Tentu pengenalan pribadi ini bukan hanya dalam aspek kognitif, namun juga empiris. Pengalaman hidup sesehari semestinya bisa dimaknai dengan baik, sehingga pengenalan pribadi ini memiliki kedekatan emosional. Yesus rindu, murid-murid-Nya tidak hanya ikut apa kata orang, namun benar-benar dekat dan memiliki relasi yang hangat dengan-Nya.

Hal demikian semakin tampak tegas dalam penggalan perikop kedua bacaan Injil kita minggu ini. Yesus seakan mengusir Simon dengan Bahasa “enyahlah iblis” (Mrk 8:33). Kalimat ini seringkali membuat Yesus tampak beringas dan galak. Bagaimana tidak, sebagai guru Ia mengusir murid-Nya sendiri. Persis gambaran guru-guru galak zaman VOC. Namun, terjemahan Inggris dalam KJV atau NIV sepakat bahwa kalimat Yesus dituliskan dengan “get behind me”, yang berarti “sini, ke belakangku”. Yesus di sini tidak mengusir, namun mengajak Simon ke belakang-Nya. Ke bekalang Yesus berarti mau mengikuti-Nya, mempelajari cara-Nya berjalan, makan, minum, memperlakukan orang, menyembuhkan, dll. Sang Guru itu mengajak si murid untuk setia berjalan di belakang-Nya. Ada sebuah sikap lembut dan penuh kewibawaan dari Sang Guru. Pertanyaannya, apakah si murid mau berjalan di sana? Di situlah kesejatian murid itu ada. Tema kita adalah “Murid yang Sejati”. Menjadi murid yang sejati ternyata bukan siapa mereka yang selalu mendapat nilai baik, namun mereka yang berlaku setia berjalan di belakang Sang Guru, memiliki sifat yang mau belajar dengan tekun.

Dalam gereja, setiap kita mengikuti ibadah tiap minggu, atau dalam kegiatan-kegiatan lain. Coba tanyakan sikap kita, kita datang sebagai murid atau sebagai apa? Jangan-jangan yang kita anggap murid hanya anak-anak, karena mereka ikut Sekolah Minggu, dan bukan Kebaktian Umum. Alih-alih kita datang sebagai murid yang belajar, namun kita justru datang sebagai orang yang hendak menyaksikan pertunjukan. Musik yang sumbang jadi bahan ghibah, khotbah yang flat ditinggal buka WA dan Tiktokan malah. Betapa menyedihkan!

Tradisi pemuridan di zaman Israel kuno memiliki sebuah kekhasan. Si murid akan datang pagi-pagi buta ke rumah Sang Rabi, duduk di luar menunggu gurunya keluar. Setelah keluar, ia tidak akan banyak bicara. Ia hanya akan mengikuti gurunya kemana ia pergi. Selama seharian penuh ia akan membersamai gurunya. Bila gurunya bercakap dan mengajar, ia akan menyimak dan belajar. Ketika gurunya menolong orang, ia akan ikut serta menolong. Hal ini mirip dengan konsep cantrik atau nyantrik di tanah Jawa. Kepada Kyai atau Sang Guru itu, ia akan mengikuti, bahkan mengabdikan dirinya dalam proses belajar. Kita ikut siapa?

 FTP

Sabtu, 07 September 2024

GEREJA YANG TOLERAN

Minggu Biasa
Yesaya 35:4-7; Mazmur 146; Yakobus 2:1-17; Markus 7:24-37


Belakangan ini kita diramaikan dengan serba-serbi kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Mulai dari berita outfit-nya, transportasi yang digunakan, tempat menginap, para haters yang bermunculan di media sosial, sampai orang-orang yang diberkati secara langsung di tepi jalan. Di tengah-tengah kunjungan apostoliknya, Paus tidak hanya berjumpa dan menyapa umat Katolik, melainkan menyapa ragam kelompok etnik. Ia tidak berkunjung hanya ke katedral, namun juga ke Masjid Istiqlal. Berjumpa dengan para sahabat hingga pejabat dari agama-agama lain. Ia bukan hanya berjabat tangan dengan orang-orang berjas, namun juga memeluk mereka penyandang disabilitas. Kunjungan beliau tidak hanya membawa sukacita bagi umat Katolik saja, namun membawa pesan persaudaraan dan perdamaian bagi bangsa Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus merupakan sebuah upaya meneladani Kristus yang dialogis, yakni kasih yang terbuka kepada semua orang. Dalam Injil Markus 7:24-37, kita diperlihatkan bagaimana Sang Sumber Kasih membagikan kasih yang dialogis itu kepada “orang yang berbeda”. Kisah pertama (ay. 24-30) merupakan perjumpaan antara Yesus dengan perempuan Siro Fenisia. Siapa perempuan ini? Tidak disebutkan siapa namanya. Alkitab hanya mencatat bahwa ia adalah seorang ibu yang berlatar belakang Yunani, yang menghampiri Yesus untuk meminta tolong sebab anaknya kerasukan roh jahat. Permohonan itu direspon oleh Yesus, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay. 27). Terkesan kasar bukan? Namun, jika kita melihat dari sudut pandang budaya kala itu, maka sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang kasar. Memang bagi orang Yahudi anjing merupakan hewan yang najis, namun itu tidak berlaku bagi orang Yunani. Tinggal bersama anjing adalah sesuatu yang wajar. Kemudian, kata anjing yang digunakan pada ayat itu, memakai kata “kunarion” yang artinya anjing piaraan atau anjing yang kecil dan bukan anjing liar. Yesus tahu siapa yang diajak bicara sehingga tidak tepat menyimpulkan bahwa Yesus merespon ibu Siro Fenisia itu dengan kasar. Itu sebabnya si ibu tidak marah, malahan mengatakan, “anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay. 28). Tentu saja ini bukanlah respon “baper”, melainkan bentuk kesadaran dan penerimaan diri. Singkat cerita, Yesus menyuruhnya pergi. Ketika sampai di rumah, sang ibu mendapati anaknya yang tidur dan roh jahat itu telah pergi. 

Kisah kedua merupakan perjumpaan Yesus dengan orang yang tuli juga gagap di dekat Dekapolis (selatan danau Galilea) (ay. 31-37). Tidak jelas apa latar belakang orang ini, namun situasi yang ia alami sebagai seorang yang tuli dan gagap menggambarkan bahwa ia menjadi orang yang terbuang karena dianggap sebagai orang berdosa (bdk. Yoh. 9:1-2). Dalam sistem sosial pada waktu itu, orang ini adalah “kelas bawah”. Kendatipun demikian, Yesus tetap menolong orang itu. Saat hanya tinggal Yesus dan orang itu,  Yesus memasukan jari ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu. Sambil menengadah ke atas, Yesus menarik nafas dan berkata “Efata”: terbukalah. Seketika itu, telinganya terbuka dan terlepas juga pengikat lidahnya sehingga ia bisa berkata-kata dengan baik (ay. 35).

         Perjumpaan yang berbeda, namun punya pesan yang sama, yakni bagaimana Yesus menunjukkan kasih yang dialogis. Kasih yang dipancarkan menembus batas budaya (juga keyakinan) dan batas sosial. Apakah ibu Siro Fenisia atau orang yang tuli itu pada akhirnya mengikut Yesus, kita tidak tahu pasti akhirnya, yang jelas kasih itu dikecap oleh mereka. Sebagai gereja, itulah yang harus kita perjuangkan. Kita menjadi gereja yang toleran dalam artian gereja yang senantiasa membuka ruang dialog yang bermisi sekaligus yang bermisi dengan berdialog. Dengan demikian gereja tidak alergi terhadap kepelbagaian namun juga tak kehilangan identitas. Kepelbagaian bukan ancaman melainkan peluang untuk berpadu dalam keharmonisan. 

Kalau di dalam gereja saja, kita masih meributkan orang lain yang berbeda dengan kita -entah itu pendapat, gaya atau ekspresi imannya-, apa jadinya ketika berjumpa dengan mereka yang di luar gereja, mereka yang berbeda budaya dan keyakinannya? Dalam pidatonya di depan Presiden Jokowi, Paus Fransiskus berkata, “ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka,” Rasanya tak berlebihan juga kalau perkataan Paus ini menjadi perenungan sekaligus peringatan kepada kita sebagai gereja. Selamat menjadi gereja yang toleran. Selamat merayakan kepelbagaian. Tuhan cinta kita semua!


feeg