Jumat, 26 April 2024

Ranting Yang Berbuah

 


Minggu Paskah V

Kisah Para Rasul 8: 26-40; Mazmur 22: 26-32; 1 Yohanes 4: 7-21; Yohanes 15: 1-8


“Apakah tujuan hidup saya?” Pertanyaan ini menjadi salah satu pertanyaan eksistensial yang dirindukan jawabannya oleh setiap insan. “Mengapa saya dilahirkan?” Tidak sedikit waktu yang kita habiskan untuk menemukan jawaban yang memuaskan dan melegakan terhadapnya. 

Stephen Covey menawarkan sebuah cara untuk menolong anak-anak muda menemukan tujuan hidup, yang kelak ia sebut dengan prinsip Begin With The End In Mind. Mari kita lakukan bersama. Sejenak, pejamkan mata dan bawa pikiran anda ke bayangan akan hari kematian anda. Anda ada di dalam peti mati dan banyak orang berdatangan untuk melayat. Otomatis, mereka akan berbagi memori tentang almarhum anda semasa hidup bersama dengan mereka. Sayup terdengar suara mereka bercerita. Kira-kira apa yang sedang mereka bicarakan? Akankah mereka membagikan momen-momen banyak bekerja bersama anda atau justru mengingat hanya sekilas pernah bertegur sapa? Akankah mereka bahagia pernah mengenal anda, berkata “tak ada lagi yang seperti dia”, atau tidak juga? Ucapan apa saja yang ingin anda dengar tentang diri anda? Bayangkan sejenak. Menurut Covey, apa yang ingin anda dengar tentang diri anda sendiri di saat kematian anda, itulah tujuan hidup anda. Hiduplah demikian adanya sejak dini. Mulai dari memikirkan akhir hidup, kita berjumpa kerinduan yang paling mendasar untuk kita lakukan di tengah dunia ini.

Covey mengajak kita menentukan tujuan hidup kita sendiri melalui simulasi, tapi sesungguhnya Tuhan Yesus telah mengajak kita mengingat tujuan hidup melalui rancangan yang Bapa telah tentukan untuk kehidupan kita. Tujuan itu ialah untuk menghasilkan buah. Yesus berkata “dalam hal inilah Bapa-Ku dimuliakan bahwa kamu berbuah banyak dan menunjukkan kamu adalah murid-murid-Ku”. 

Dalam perjalanan pelayanan Yesus bersama para murid, mereka sering berjumpa dengan kebun anggur. Mereka tentu tidak asing dengan cara para pengusaha kebun anggur mengelola kebunnya demi hasil yang terbaik. Maka dengan gambaran yang paling familiar dengan kehidupan sesehari saat itulah Yesus memilih pohon anggur sebagai perumpamaan agar muridNya memahami tujuan hidup mereka. Yesus mengibaratkan Bapa sebagai pemilik kebun, Yesuslah batang pokok pohon anggur itu, sedangkan para pengikut-Nya sebagai ranting atau carang dari batang pokok anggur. Sebagai ranting, murid Kristus mestilah menghasilkan buah dan dapat dinikmati buahnya sebagai bahan makanan dan minuman bangsa Israel saat itu. 

Untuk dapat berbuah dengan baik, ranting-ranting harus mau dibersihkan/ dipruning/ di-trim. Ada kalanya tukang kebun akan membersihkan dengan cara memangkas ujung-ujung ranting agar tidak terlampau panjang dan berat. Juga agar zat nutrisi terfokus untuk mengaliri bakal buah dan bukan hanya untuk ranting itu sendiri. Ranting dipangkas ujungnya justru supaya lebih banyak buah. Sedangkan ranting yang jelas tidak pernah berbuah, bukan hanya dipruning tapi dipotong habis dan dibuang jauh supaya tidak menularkan penyakit. Jadi tujuan petani anggur cuma satu yaitu supaya tanaman berbuah. Bahkan lebat dan optimal. Itulah tujuan hidup kita, yaitu hidup berbuah di tangan-Nya. 

Dalam terang 1 Yohanes 4 : 7-21, kita pun melihat Allah melakukan segala karya (penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan dan pembaharuan) agar kita merasakan bahwa kita dimiliki oleh kasih-Nya dan mau memberi diri untuk meneruskan kasihNya bagi dunia. Allah telah menempuh segala cara agar dunia mengerti betapa kita sangat dikasihi dan dipercayai Allah untuk melaksanakan misi-Nya. Keberadaan kita berdampak besar sebab pasti orang yang berasal dari kasih Allah dan merasakan kasihNya, akan rindu untuk segera meneruskan dan membagikan buah kasih bagi sesama dalam pemberian dirinya. 

Jadi Tuhan Yesus sebenarnya bukan hanya menjawab apa tujuan hidup kita, tapi Ia juga terus meyakinkan kita bahwa “pasti ada tujuan hidupmu di tanganKu. Setiap orang pasti dilahirkan dengan suatu rancangan tujuan untuk memuliakan Allah. Tak seorang pun dilahirkan untuk menjadi sia-sia dan setiap orang yang tinggal dalam kasih Allah akan mengenal kerinduan untuk segera berkarya bagi dunia. Untuk itu, Tuhan Yesus mengingatkan, yang paling penting ialah selalu tinggal di dalam-Nya agar kita dibentuk untuk mengerti kehendak-Nya. “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa yang kamu kehendaki, maka akan diberikan kepadamu.” 

Ada banyak hal yang kita kehendaki dalam dunia ini, termasuk yang kita pikir dan rasa perlu untuk dilakukan sebagai tujuan hidup kita. Namun, kekecewaan bisa muncul saat kita melihat yang kita upayakan terasa sia-sia. Sebab memang tak satupun yang kita pikirkan, katakan dan lakukan akan melegakan dan memuaskan kerinduan kita, kalau tidak bersumber dari kehendak Allah sendiri. Kita akan selalu mencari dan tidak menemukan tujuan hidup kalau mengandalkan maksud kita sendiri, seperti dikatakan “Sama seperti carang yang tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (ayat 4); “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (ayat 5). Maka, kita diajak untuk selalu menyamakan frekuensi kehendak kita dengan kehendak Allah yang memiliki kehidupan kita. Kita juga diundang terus mengingat sumber kehidupan kita yakni Allah yang penuh kasih yang akan menolong umat memenuhi tujuan hidupnya, yakni meneruskan kasih itu kepada dunia. 

Belakangan, gereja diperhadapkan pada isu kesehatan mental yang berakhir dengan keterkejutan kita saat menemui adanya pikiran dan tindakan percobaan bunuh diri dalam segala usia yang cukup tinggi kemunculannya. Tak sedikit penyintas yang mengungkapkan pergumulannya yang diawali dengan pertanyaan “mengapa saya harus dilahirkan?”; “untuk apa saya lahir?”, bahkan teriakan “saya tidak minta untuk dilahirkan!”. Kesia-siaan hidup menghantui kita. Nova Riyanti Yusuf yang mengembangkan Instrumen Ketahanan Jiwa Remaja menolong kita melihat bahwa memang ada empat dimensi faktor risiko bunuh diri yakni kesepian, ketidakberdayaan, kepercayaan individu tentang sejauh mana individu merasa menjadi bagian dari orang lain/sense of belonging, dan perasaan sebagai beban. Ketika seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri dan salah mengidentifikasi sense of belongingnya, maka ia tidak dapat melihat bahwa hidup ini bermakna, apalagi melihat bahwa hidup ini adalah untuk berbuah dan meneruskan kasih.  

Sebagai gereja Tuhan, fenomena ini menjadi pergumulan yang perlu kita jawab sebagai orang-orang yang dipanggil untuk berbuah dan meneruskan kasih di tengah dunia yang bertanya arti hidupnya. Bersama dengan sesama, mari meletakkan keberadaan, kepemilikan/sense of belonging dan tujuan hidup kita hanya di tangan Sang Pokok Anggur serta mari tinggal dalam kasihNya yang membuat kita berdaya, berguna dan berbuah senantiasa. 


Kamis, 11 April 2024

SAKSI KEBANGKITAN TUHAN

MINGGU PASKA III

Kisah Para Rasul 3:12-19; Mazmur 4; 1 Yohanes 3:1-7; Lukas 24:36b-48


Apa jadinya jika kita melihat orang terdekat kita yang sudah meninggal ternyata hidup lagi? Apakah kita senang karena bisa kembali berjumpa? Rasanya kok bukan raut wajah senang yang akan kita perlihatkan, melainkan heran dan mungkin takut. Sebab orang yang mati lalu hidup kembali adalah peristiwa yang sulit sekali dicerna oleh pikiran manusia. Maka tidak heran ketika Yesus tiba-tiba muncul di tengah-tengah para murid yang sedang berkumpul, reaksi mereka justru terkejut bahkan takut dan menyangka bahwa Yesus adalah hantu (Lukas 24:36b-48).


Meskipun para murid takut, Yesus justru meyakinkan bawa diri-Nya hidup. Ia mulai dengan sapaan damai sejahtera yang meneduhkan. Ia menunjukkan bekas luka di tangan dan kaki. Bukan hanya menunjukkan tetapi juga mengizinkan para murid untuk merabanya. Namun apa yang dilakukan oleh Yesus masih belum sepenuhnya meyakinkan para murid. Akhirnya Ia meminta makan, lalu diberikanlah sepotong ikan bakar, dan Ia memakannya di depan mata para murid.


Yesus kemudian mengajak kembali para murid untuk mengingat apa yang pernah disampaikan-Nya, bahwa harus digenapi seluruh yang tertulis tentang diri-Nya dalam hukum taurat, kitab nabi-nabi, kitab Mazmur. Ia membuka pikiran mereka agar dapat mengerti bahwa Mesias harus mati dan bangkit di antara orang mati pada hari ketiga. Dengan demikian, kehadiran-Nya bukan hanya meyakinkan para murid bahwa Ia hidup, namun juga memberikan sebuah identitas sekaligus tugas yang harus dilakukan. Yesus menyebut mereka sebagai saksi-saksi kebangkitan diri-Nya. Oleh sebab itu, berita pengampunan dan pertobatan harus disampaikan kepada semua orang dimulai dari Yerusalem.


Kini tugas yang diberikan kepada para murid juga menjadi tugas dan tanggungjawab kita. Sama seperti para murid yang bersaksi tentang Yesus yang bangkit, kita juga melakukan hal yang sama di dalam kehidupan yang kita jalani. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan untuk mempersaksikan Tuhan yang bangkit?


Ada dua cara untuk kita mempersaksikan Tuhan yang bangkit. Cara pertama biasanya melalui pendekatan keberhasilan atau kesuksesan. Misalnya saja mendapatkan promosi jabatan setelah sekian lama bekerja. Mendapatkan pasangan hidup yang yang diidam-idamkan. Mendapatkan beasiswa atas prestasi yang dicapai. Dinyatakan sembuh setelah berjuang bertahun-tahun melawan penyakit, dan keberhasilan atau kesuksesan lainnya.


Cara semacam ini bisa kita jumpai dalam pelayanan Petrus yang memulihkan orang lumpuh. Seorang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, kini mampu berdiri dan melompat sembari memuji Allah. Hal ini membuat banyak orang yang melihat itu mengikuti Petrus dan Yohanes di Serambi Salomo. Momen ini kemudian dipakai Petrus untuk berkhotbah bahwa kesembuhan itu bukanlah karena dirinya melainkan karena Allah di dalam Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus yang berkuasa (Kisah Para Rasul 3:12-19). Lebih dari itu, Petrus dalam khotbahnya mengajak orang-orang sejenak menoleh pada peristiwa sengsara Yesus. Melalui pengenangan itu, mereka diajak untuk sadar dan bertobat. 


Dalam ruang-ruang kesaksian, pendekatan semacam ini sering kita jumpai bukan? Tentu saja tidak ada yang salah dengan pendekatan ini sejauh keberhasilan dan kesuksesan itu didasarkan pada penghayatan bahwa semua ini terjadi karena anugerah Allah sebagaimana yang dihayati oleh Petrus!


Di samping cara yang pertama itu, ada pula cara yang kedua, yakni menggunakan pendekatan penderitaan. Maksudnya, adalah mereka yang berada di dalam penderitaan atau titik terendah dalam hidupnya tetapi tetap berpengharapan, tidak menyerah, dan bersandar penuh pada Allah. Tidak banyak orang yang bersaksi dengan pendekatan semacam ini. Namun, ada seorang pendeta GKI yang bersaksi dengan cara ini. Beliau adalah Pdt. Izack Y. Sipasulta yang melayani di GKI Cawang. Sebagai seorang pendeta, Allah justru mengizinkan ia terkena kanker paru-paru stadium 4. Pengobatan demi pengobatan dijalani, namun bukan untuk sembuh melainkan mencegah kanker menyebar dan memperpanjang hidupnya. Pada akhirnya beliau pun kembali kepada Sang Pencipta tepat pada tanggal 26 November 2021. Di tengah rasa sakit yang luar biasa, ia mempersaksikan Tuhan yang hidup. Ia pernah berujar, "Saya tidak akan pernah berhenti melayani Tuhan selama masih diberi nafas kehidupan... Rasa sakit pada badan yang luar biasa membuat saya hanya dapat mengandalkan pertolongan Tuhan." (lih. artikel Ignite - Memaknai Hidup sebagai Anugerah: Sepenggal Kisah Hidup dari Pdt. Izack Y. Sipasulta).


Baik melalui keberhasilan atau kegagalan, sehat maupun sakit, sukses maupun merugi, semua bisa menjadi sarana untuk mempersaksikan Tuhan yang bangkit. Tidak perlu menunggu keadaan baik-baik saja untuk bersaksi. Sebaliknya tidak perlu juga merasa tak mampu bersaksi kala keadaan sedang tidak baik-baik saja. Situasi yang kita alami bukanlah dalil untuk kita berhenti menjadi saksi-Nya sebab identitas kita sejatinya adalah anak-anak Allah (1 Yohanes 3:1-7). Identitas kita yang adalah anak-anak Allah kiranya menjadi pengingat sekaligus daya untuk terus berjuang menghadirkan kasih-Nya di tengah-tengah dunia ini. Dengan kata lain, kita adalah anak-anak Allah yang berusaha untuk terus mempersaksikan Tuhan yang bangkit dan hidup melalui tutur kata dan hidup dimanapun kita berada. Tuhan memampukan! Amin.


feeg

Kamis, 04 April 2024

Persekutuan Yang Dipulihkan

 

PERSEKUTUAN YANG DIPULIHKAN


Trauma, tidak hanya dimiliki oleh seseorang yang mengalami secara langsung sebuah peristiwa, namun juga bisa terjadi oleh mereka yang berada, hadir, dan melihat peristiwa tersebut. Trauma psikologis adalah salah satu dari beberapa jenis trauma yang ada. Menurut Willey & Sons, trauma psikologis merupakan keadaan yang terjadi akibat peristiwa yang sangat mengejutkan dan menakutkan, dapat merusak fungsi ketahanan mental seseorang (fisik dan psikis). Setidaknya trauma psikologis inilah yang juga barangkali dialami oleh para murid Yesus. Peristiwa penyaliban Yesus yang begitu membekas, menimbulkan trauma bagi para murid, dan reaksi yang muncul adalah ketakutan.

Dalam kondisi ketakutan ini, dikatakan dalam bacaan Injil Yohanes bahwa mereka kemudian berkumpul. Selain karena tengah berada dalam ketakutan, berkumpulnya para murid juga dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif, mereka tidak melarikan diri keluar kota, mereka tidak terpencar, tetapi justru berkumpul. Itu berarti menandakan adanya sebuah ikatan persaudaraan yang juga dihidupi, mengalami bersama, memproses bersama, dan menguatkan bersama.

Kembali kepada persoalan ketakutan para murid yang tidak bisa dianggap enteng. Mereka mengalami ketakutan yang membuat diri mereka seolah-olah tengah terancam, tidak merasa aman. Ketakutan ini membuat mereka menutup dan mengunci pintu-pintu yang ada, sebab mereka takut terhadap orang Yahudi. Bagian menarik dari pintu-pintu yang terkunci, menggambarkan pula bagaimana pintu itu dikunci tidak hanya bagi orang Yahudi, namun juga bagi Yesus. Yesus beberapa kali menyatakan akan kebangkitan-Nya dan kabar kebangkitan itu juga sudah disampaikan oleh para perempuan kepada para murid (lih Markus 16:1-8). Namun hal itu, nyatanya tidak membuat mereka merasakan sebuah ketenangan ataupun sukacita, dan justru tetap berada dalam ketakutan.

Menutup pintu bukan hanya sekedar gambaran untuk menghindari orang Yahudi, namun juga orang lain, termasuk Yesus. Bukankah hal seperti ini sama dengan kehidupan kita,  kala tengah dalam ketakutan akan hal-hal lain dalam kehidupan, kita cenderung menutup diri, menarik diri dan bahkan juga menutup pintu untuk kehadiran Yesus. Gambaran akan pintu yang terkunci juga memperlihatkan bahwa hal ini bukanlah menjadi halangan bagi Yesus untuk hadir membawa pemulihan, bagi para murid yang tengah ketakutan dan juga bagi setiap kita dalam menghadapi ketakutan. Hadirnya Yesus di tengah pintu yang tertutup itu, adalah sebuah kehadiran yang membawa pemulihan. Setidaknya terdapat 3 hal yang bisa kita dapatkan dari peristiwa dimana Yesus mengunjungi para murid ini :


Pertama, sapaan yang menenangkan.

Lukas memberikan catatan untuk memperlangkapi gambaran akan situasi menegangkan dan menakutkan yang dialami oleh para murid. Dikatakan bahwa para murid begitu terkejut, bahkan mengira bahwa mereka melihat hantu (Luk 24:37-38). Hal ini disebabkan, karena tidak mungkin ada orang yang dapat masuk kedalam ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dalam ketakutan itu, hadirnya Yesus di tengah-tengah mereka, menjadi sesuatu yang mengejutkan. Dalam situasi inilah, Yesus menyapa mereka dengan mengucapkan “damai sejahtera”. Sebuah salam, yang pertama kali Yesus lakukan kepada para murid. 

Salam inipun bukanlah hal yang basa-basi, bukan hanya sekedar salam yang biasa diucapkan kalangan orang Yahudi, namun salam yang mengingatkan akan apa yang Ia janjikan sebelumnya (Yohanes 14:23-31). Dalam menghadapi kematian Yesus, murid-murid menghadapi kebimbangan, padahal damai sejahtera Ia janjikan bahkan sebelum Ia disalibkan, maka sapaan salam itu mengingatkan juga bahwa damai sejahtera akan tetap ada, dan damai itu akan memenuhi setiap orang percaya. Ini menunjukkan kepada kita, bahwa dalam tekanan hidup sekalipun jangan sampai damai sejahtera dari Tuhan hilang begitu saja.

“Damai sejahtera bagi kamu” (ay 19) adalah sebuah kalimat sapaan yang disampaikan oleh Yesus, yang juga merupakan bagian dari pendahuluan akan amanat agung yang disampaikan oleh Yesus dalam Matius 18:19-20. Para murid diberikan damai sejahtera, dan itu merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Tidak hanya sapaan damai sejahtera, namun Yesus juga mengatakan bahwa mereka diutus, sama seperti Bapa mengutus Yesus, demikianlah Yesus mengutus mereka.

Damai sejahtera kemudian ditekankan kembali (ay 21), karena tidak hanya saat ini mereka mengalami kegoncangan, namun juga dalam hari-hari berikutnya, mereka akan mengalami sebuah kegoncangan yang besar dan tantangan besar, ketika menjalankan tugas pemberitaan mereka. Penganiayaan menjadi salah satu hal yang akan mereka alami, maka ketika damai sejahtera itu tidak ada, para murid akan mengalami kesulitan dalam pemberitaan itu. Damai sejahtera yang menjadi sapaan pertama yang Yesus lakukan, menjadi sebuah jawab akan trauma dan ketakutan para murid. Satu sisi, sapaan tersebut juga mengingatkan bahwa hari-hari kedepan, Tuhan menyertai mereka. Inilah sapaan yang dilakukan oleh Yesus dan membawa ketenangan bagi para murid

 

Kedua, Tanda sebagai penegas kehadiran Allah

Yesus tidak hanya menyapa para murid, namun juga memperlihatkan tangan dan lambung sebagai tanda (semeion), seperti apa yang sudah pernah disampaiakn oleh Yesus dalam Yohanes 4:48 “Jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, kamu tidak percaya.” Maka ketika Yesus menunjukkan itu semua, inilah tanda akan kehadiran Allah dan kuasa-Nya. Inilah Yesus yang benar-benar disalib dan bangkit. Hal ini juga mematahkan pula kabar tentang Yesus yang tidak bangkit, sebab mayatnya hilang dicuri, atau kabar-kabar lainnya yang mungkin beredar. Kehadiran Yesus dengan menunjukkan tangan dan lambung kepada para murid, membuat mereka diteguhkan kembali iman mereka. Maka tidak mengherankan bahwa mereka bersukacita. Sebab apa yang menguatkan iman akan membangkitkan sukacita. Ketika mereka melihat tanda tersebut, sukacita itu bukan hanya karena mereka melihat fisik Yesus, namun juga mereka melihat secara rohani, mereka percaya sebab melihat dengan mata iman.  

Disatu sisi terdapat pula problem, bahwa Thomas sedang tidak ada bersama-sama dengan mereka saat itu, sehingga ia tidak percaya akan apa yang disampaikan oleh rekan-rekannya. Ini menunjukkan ketika seseorang tidak ikut dalam sebuah komunitas, ia mendapat problem iman dan kepercayaan “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku menaruh jariku ke dalam bekas paku itu serta menaruh tanganku ke lambung-Nya, sekali-kali aku tidak percaya” (ay 25 b). Memang tidak dijelaskan mengapa Thomas tidak ada, dan alasan apa, namun dari hal ini, bisa mengingatkan kepada kita, bahwa menjauh dari perkumpulan persekutuan, atau komunitas yang ada, dapat membuat kita kehilangan kesempatan untuk bersama-sama merasakan karya layanan yang indah. Walaupun kita juga tau bahwa ada fakta, bahwa kita tidak selalu bisa bersama-sama, namun dalam hal ini, bagaimana kita dapat tetap percaya dan beriman walau kesempatan itu tidak bisa kita rasakan, dan yakinlah kesempatan lain akan selalu diberikan. Dalam hal ini Thomas memilih tidak percaya, sebab ia tidak ada dalam kesempatan indah itu. Jeda waktu yang diberikan oleh Yesus sebelum memperlihatkan tanda tersebut kepada Thomas oleh beberapa penafsir juga dilihat sebagai pengingat kepada Thomas untuk tidak meninggalkan persekutuan bersama para murid.

 

Ketiga, jaminan penyertaan Allah

Dalam ayat 22 dikatakan bahwa Yesus menghembusi mereka. Apa yang dilakukan oleh Yesus ini merupakan bagain yang masih terhubung dengan ayat sebelumnya. Sebuah karya layanan yang harus dilakukan oleh para murid, dan ketika Yesus menghembusi mereka, itu berarti mereka harus melayani dengan kuasa ilahi, bukan dengan kekuatan sendiri, bukan dengan kepentingan diri, bukan pula dengan ego diri.

Peristiwa itu juga memberikan tanda bahwa nafas kehidupan yang Allah berikan kepada manusia, sekarang Ia memberikan kehidupan baru pada para murid. Sama seperti Bapa yang memberikan nafas kehidupan kepada Adam (Kejadian 2), Yesus juga memberikan kehidupan kepada para murid, kehidupan yang baru. Karya keselamatan telah Ia lakukan dalam peristiwa kematian di kayu salib dan kebangkitan-Nya, kini para murid mengambil bagiannya. Inilah yang menjadi jaminan dimana dikatakan bahwa mereka disertai roh Kudus dalam tugas yang akan mereka kerjakan.


Inilah tiga hal yang menjadikan kehadiran Yesus membawa pada pemulihan bagi para murid. Mereka yang tadinya berada dalam ketakutan, kini merasakan damai dan sukacita. Tidak hanya berhenti disitu saja, iman yang tadinya goyah, kembali dikuatkan, dan bahkan Roh Kudus itu dicurahkan bagi mereka. Kehadiran Yesus di tengah-tengah para murid memulihkan persekutuan para murid, menjadi semakin diteguhkan. Hal ini juga mengingatkan kita akan pemulihan yang selalu Tuhan kerjakan bagi kita. Di tengah-tengah pemulihan tersebut, perubahan juga harus terjadi dalama hidup kita. Sebab perubahan terjadi bukan hanya sebatas dalam pikiran kita, namun juga pada sikap, hati dan juga tindakan kita.

Kamis, 28 Maret 2024

KEDAULATAN ALLAH DALAM SALIB

 

JUMAT AGUNG

Yesaya 52 : 13 – 53 : 12; Mazmur 22; Ibrani 10 : 16 – 25; Yohanes 18 : 28 – 19 : 37

 

Dalam bacaan Injil Yohanes, diceritakan setelah Yesus ditangkap Ia tidak langsung dibawa ke hadapan Pilatus, tetapi terlebih dahulu dibawa ke hadapan Hanas – Kayafas (imam besar Yahudi) di Mahkamah Agama dan juga dibawa ke hadapan Herodes (Luk. 23 : 8 – 12). Namun setelah melakukan perjalan panjang dan ke rumah-rumah para petinggi agama dan negara itu, tak ada satupun yang dapat menyebutkan apa kesalahan Yesus.

 

Karena Yesus belum diberi status eksekusi hukuman yang pasti dan menghindari kebebasan Yesus, para pemuka agama Yahudi pun membawa Yesus ke hadapan Pilatus. Mengapa dibawa ke Pilatus?

1.   Pilatus adalah wali negeri (gubernur) di Provinsi Yudea di masa itu

2.   Pilatus berada di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi, sehingga keputusannya tentu akan mewakili keputusan kerajaan Roma

3.   Pilatus punya kekuasaan

4.   Pilatus sudah terbiasa mengadili orang

5.   Di tangan Paulus, ia dapat mengambil keputusan untuk membebaskan, menghakimi atau menyalibkan seseorang.


Dalam dialog awal perjumpaan Pilatus dan para pemuka agama Yahudi, orang-orang Yahudi itu menuduh bahwa Yesus adalah penjahat (18 : 30). Namun nampaknya Pilatus merasa ada keanehan yang terjadi. Karena, kalau Yesus disebut penjahat, seharusnya sejak awal ketika Ia dibawa entah ke Mahkamah Agama atau ke Herodes (para petinggi-petinggi itu), Yesus harusnya bisa langsung dieksekusi, namun ternyata belum dieksekusi juga. Ada apa sih sebenarnya antara Yesus dan orang-orang Yahudi ini? Mungkin inilah kejanggalan dan pertanyaan Pilatus kala itu. Pilatus yang biasanya mengadili ternyata bukan seorang yang mengadili dengan asal-asalan.

 

Karena melalui adanya kejanggalan, pertanyaan dan tuduhan kepada Yesus yang tanpa bukti, maka Pilatus memilih untuk berdialog dulu dengan sebelum ia menjatuhkan keputusan untuk Yesus. Dalam dialog antara Pilatus dengan Yesus yang terekam dari pasal 18 : 33 – 19 : 11 (19 ayat) ada banyak hal yang menarik yang dilakukan oleh Pilatus:

1.   Pilatus menyebut Yesus berkali-kali bukan dengan sebutan Yesus/Rabuni/Guru tapi dengan sebutan raja orang Yahudi (18 : 33, 37; 39; 19 : 14, 19 : 19) (penghormatan) 

2.   Pilatus tidak menemukan kesalahan apapun pada Yesus dalam proses dialog dan berkali-kali hal itu ia sampaikan kepada orang-orang Yahudi sebagai sebuah penegasan (18 : 38b; 19 : 4; 19 : 6). 

3.  Pilatus berusaha membebaskan Yesus dengan berbagai cara:

a.    Mengembalikan Yesus kepada orang Yahudi supaya tidak dihukum pake hukuman Romawi tapi hukuman Yahudi (18 : 31; 19 : 6). Supaya Yesus tidak cepat-cepat dihukum karena tidak ditemukan salahNya apa.

 

b.   Pilatus mencambuk Yesus dan prajurit memberi mahkota duri, mengenakan jubah ungu dan mengoloknya (19 : 1 – 3). Hal ini sebenarnya adalah salah 1 strategi Pilatus untuk mempermalukan Yesus di hadapan orang Yahudi sekaligus memberi tahu mereka, bahwa Yesus yang kalian anggap penjahat itu sesungguhnya manusia yang tidak berdaya (Ia katakan Lihatlah manusia itu! - Yoh. 19 : 5).

 

Bahkan ia tidak punya kekuasaan dan kekuatan dibandingkan Pilatus. Bahkan dengan menunjukkan sisi kemanusiaan Yesus yang rapuh, penuh luka dan darah. Hal ini juga sebagai strategi Pilatus supaya orang Yahudi merasa iba – merasa cukup Yesus disesah, terluka dan berdarah dan akhirnya melepaskan Yesus yang tidak bersalah itu. Namun, usaha kedua Pilatus untuk menyelamatkan Yesus tetap tidak berhasil juga.

 

c.  Pilatus menawarkan membebaskan raja orang Yahudi di momen Paskah Yahudi kala itu (18 : 39). Momen ini kalau di masa sekarang disebut remisi khusus narapidana di hari raya. Namun ternyata, orang Yahudi justru meminta Barabas yang dibebaskan. Padahal Barabas itu punya catatan kriminal, seorang penyamun, penjahat, seorang pemberontak nasionalis, pembunuh dan pencuri di zaman pemerintahan Pontius Pilatus.

 

Buat Pilatus kala itu, tidak adil membebaskan Barabas yang terbukti bersalah dan menghukum Yesus yang tidak ada salahnya. Itu aneh! Tapi lagi-lagi rencana Pilatus untuk membaskan Yesus gagal. Akhirnya saudara, beragam cara usaha Pilatus untuk membebaskan Yesus tidak ada yang berhasil. Dan akhirnya membuat Pilatus melepaskan Yesus dengan menyerahkanNya untuk disalibkan.

 

Di bagian ini saudara, yang mau ditegaskan kepada kita adalah pada akhirnya,

salib yang Yesus harus pikul itu terjadi bukan karena kedaulatan (kekuasaan) manusia dalam diri Pilatus. Tetapi karena kedaulatan (kekuasaan) Allah. Bahwa Allah memang berdaulat, berkuasa dan punya kehendak dalam salib itu.

 

Tapi mengapa Allah memilih jalan penuh derita melalui salib itu? Karena Ia memikirkan, mementingkan, mencintai dan mau menyelamatkan umatNya (Bdk. Yes. 53 : 4 – 12). Ia mau umatNya punya pengharapan, punya kehidupan dan punya kebenaran di dalamNya dan bersamaNya.

 

Maka di momen Jumat Agung ini kita sama-sama kembali diberi pesan oleh firman Tuhan:

1.  Jumat Agung mengingatkan kita kembali pada kedaulatan Allah dalam salib. Bahwa seberapa pun besar jabatan, materi, kuasa atau kedaulatan manusia, tidak ada yang bisa menandingi kedaulatan atau kekuasaan Allah. Bahkan bukan hanya hidup Yesus yang ada kedaulatan (kekuasaan) Allah. Tapi di hidup kita juga ada kedaulatan/kuasa Allah.

 

2.  Kedaulatan Allah dalam salib menunjukkan bahwa Allah tidak menolak penderitaan untuk kita. Ia rela dikhianti oleh Yudas, disangkal oleh Petrus, ditinggalkan murid-muridNya, diolok dan dipermalukan, disalahkan tanpa berbuat salah, bahkan mau mati di kayu salib yang hina dan cela itu, bukan demi diriNya tapi demi kita manusia – umat yang dikasihiNya yang mau ditemani, dirangkul, disahabati dan diselamatkan olehNya (bdk. apa yang dirasakan oleh pemazmur dalam Mzm. 22)

 

3.  Tidak semua yang kita anggap baik, berdampak baik. Tidak semua yang kita anggap buruk, berdampak buruk. Pilatus berusaha dengan baik untuk membebaskan Yesus. Namun ternyata, apa yang menjadi rencananya tak berdampak baik untuk rencana Allah. Sementara Yesus menerima salib yang dianggap buruk oleh orang lain, namun ternyata tak selamanya yang buruk itu berdampak buruk. Karena justru melalui salib yang buruk itu. Kita semua beroleh keselamatan, pengharapan dan kehidupan.

 

Selamat merayakan, merasakan dan menjumpai cinta kasihNya melalui sabda, salib dan kedaulatanNya. Amin. 

(mc)

 

 

 

 


Selasa, 26 Maret 2024

Mengukir Cinta dalam Kenangan

Kamis Putih 

Keluaran 12:1-14 | Mazmur 116:1-2, 12-19 | 1 Korintus 11:23-26 | Yohanes 13:1-17; 31-35

Dalam pembukaan Persidangan Majelis Sinode Wilayah atau Persidangan Majelis Sinode GKI biasanya dilakukan ritus pengenangan/ in memoriam. Ritus ini dijalani sebagai cara untuk mengenang pendeta, penatua ataupun aktivis dalam ruang lingkup sinodal yang meninggal dalam suatu periode persidangan. Ritus ini tidak bertujuan untuk mendoakan mereka yang telah meninggal, akan tetapi menjadi media untuk mengenang karya Allah dalam kehidupan saudari-saudara yang telah meninggal. Mengenang kembali karya Allah tentu menjadi sebuah kekuatan tersendiri bahkan menghadirkan kembali pengharapan yang baru untuk menapaki ziarah karya selanjutnya sebagai Sinode Wilayah ataupun Sinode. Belakangan ritus pengenangan juga diadopsi dan diadaptasi dalam lingkup jemaat untuk mengenang setiap anggota jemaat yang telah meninggal dalam satu periode waktu tertentu. Hal ini menunjukkan betapa kenangan punya dampak baik bagi kehidupan manusia.

Pada hari kamis putih kita juga melakukan tindakan pengenangan. Kita mengenang kembali ukiran cinta kasih Kristus. Ya, cinta kasih Kristus terukir dalam tindakan nyata dan bermakna. Mari kita jelajahi satu demi satu.

Pertama, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam kerendahan hati-Nya.
Perlu kita ingat bahwa tindakan pembasuhan kaki sejatinya adalah sebuah tindakan keramahan yang lazim dipraktekkan di Palestina kuno. Tuan rumah akan membukakan pintu, menyambut tamunya masuk, dan akan meminta seorang hamba (/budak) membasuh kaki para tamu setelah menempuh perjalanan berdebu dengan alas kaki yang terbuka (terutama dibanding sepatu yang kita gunakan bepergian hari-hari ini). Akan tetapi saat itu Yesus, yang adalah guru – berstatus lebih dari para murid, memeragakan tindakan yang agak lain. Sebab Ia-lah yang justru membasuh kaki para murid-Nya. Saat membasuh kaki itu Yesus harus memosisikan diri lebih rendah yakni, berlutut untuk sejajar dengan kaki murid-murid. Semua dilakukan-Nya karena Ia mau menjalani karya sebagai Guru sepenuhnya. Sebab Guru adalah sosok yang akan didengar ajarannya dan dicontoh tindakannya. Yesus sedang mengajar tentang kerendahan hati sekaligus menghidupi karakter rendah hati itu sendiri.

Bila pada Kamis Putih ini kita menyaksikan ritus pembasuhan kaki selayaknyalah kita mengingat Kristus yang rendah hati dan meneladani kerendahan hati-Nya. Sayang sekali bila kita sebagai umat-Nya, hanya mengingat peristiwa pembasuhan kaki sebagai ritus yang harus dilakukan lantas pulang sebagai pribadi yang punya sikap superior, merasa diri lebih penting, arogan dan bersikap semena-mena terhadap sesama.
 
Kedua, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam tindakan-Nya menciptakan relasi persahabatan.

Selain kerendahan hati, sejatinya pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus juga merupakan sikap Yesus menciptakan relasi baru yakni relasi persahabatan. Hal ini bermula dari tindakan Yesus dalam 13:4 “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya…” Bahasa asli untuk kata “menanggalkan” di ayat ini sama dengan bahasa asli untuk kata “memberikan” dalam Yohanes 10:11 “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Serta sama juga dengan bahasa asli untuk kata “memberikan” dalam Yohanes 15:13 “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.” Hal ini dipandang oleh Pdt. Joas Adiprasetya sebagai kehendak Allah memberikan hidup-Nya untuk memulai sebuah relasi persahabatan dengan umat-Nya. Penciptaan relasi persahabatan ini kemudian berlanjut dengan penegasan yang tergambar dari jawaban Yesus terhadap Simon Petrus yang menolak pembasuhan kaki. Yohanes 13:8 mengatakan Jawab Yesus, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian bersama Aku.” Jadi kenangan kita terhadap tindakan pembasuhan mengingatkan kita bahwa Allah menciptakan sebuah relasi baru dan kita dihisap dalam ikatan relasi persahabatan yang diinisiasi oleh-Nya.

Penciptaan relasi cinta kasih Kristus ini ditempuh-Nya dengan segala risiko. Bayangkan saja, seorang yang membasuh kaki sejatinya juga menempatkan diri dalam keadaan rentan (vulnerable) dilukai. Saat berposisi sejajar kaki para murid Yesus punya risiko ditolak dengan tangkisan tangan atau bahkan hentakan kaki yang mungkin melukai fisik-Nya. Selain itu, Yesus membasuh kaki dengan risiko akan dilukai oleh Petrus yang akan menyangkal Dia dan dilukai Yudas yang sudah menjual-Nya. Tapi itulah cinta Kristus, cinta-Nya itu tetap ada meski Dia harus terluka, dan cinta-Nya itu murni meski Dia harus mati.

Teladan Kristus adalah sebuah tantangan bagi kita. Sebab hari ini banyak orang yang siap mencintai sahabat-sahabatnya tapi hanya jika risikonya minim. Banyak pula orang yang menyatakan siap mencintai sahabat-sahabatnya hanya jika ada banyak keuntungan yang diterima dirinya.
 
Ketiga, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dengan meneladan Dia.
Dalam Yohanes 13:12-14 Yesus berkata “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku, Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu.” Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa Yesus tak menantikan balasan. Namun Yesus menghendaki kita mengenang ukiran cinta-Nya dengan tindakan nyata yang sama dengan Dia. Yakni, tindakan memelihara relasi persahabatan dengan sesama melalui tindakan saling membasuh meski itu berisiko.

Jadi mengenang itu bukan hanya mengingat-ingat karya cinta Kristus di masa lampau. Mengenang cinta Kristus itu juga dengan melakukan dan melanjutkan segala tindakan cinta Kristus di masa kini. Sebab dengan melakukannya lagi dan lagi, ulang dan ulang, kita pun akan makin melekat dengan Dia. Dan dengan lekat pada-Nya maka hidup ini dapat kita jalani dengan gaya hidup yang makin serupa dengan gaya hidup Kristus yang sempurna. Saat gaya hidup kita makin serupa dengan Kristus, maka semakin kita punya peluang untuk menolong orang lain mengenang ukiran cinta Kristus yang sempurna.

Maka bagi setiap kita yang hari ini mengenang cinta Kristus, siapkanlah diri untuk mengasihi, mengampuni dan melayani dengan segala risikonya.
Karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi, mengampuni dan melayani kita dengan segala risikonya.

ypp

Jumat, 15 Maret 2024

MEMILIH JALAN KEMULIAAN

Minggu V Pra-Paska

Yeremia 31:31-34 | Mazmur 51:3-15 | Ibrani 5:5-10 | Yohanes 12:20-33


Manusia sering kali diperhadapkan pada pilihan. Memilih yang ini atau yang itu. Kadang pilihannya mudah, kadang pilihannya sulit. Manusia umumnya memilih yang baik menurutnya, yang lebih menyenangkan, atau lebih aman. Jika diminta memilih kemuliaan atau penderitaan, manusia pada umumnya akan memilih kemuliaan. Untuk apa memilih penderitaan? Jelas lebih baik kemuliaan. Namun, tidak begitu bagi Yesus. Tidak ada pilihan antara kemuliaan dan pendertiaan, karena kemuliaan adalah penderitaan, bahkan kematian. Ketika Yesus memilih jalan kemuliaan, ia pun memilih jalan derita dan kematian.

Konteks bacaan Injil hari ini adalah Hari Raya Paskah yang sudah mendekat. Yerusalem saat itu dipadati orang dari berbagai penjuru dunia yang ingin berziarah ke Bait Allah. Tidak ketinggalan di situ hadir juga orang-orang dari bangsa asing yang menganut agama Yahudi. Di antara mereka tersebutlah sejumlah orang Yunani yang ingin bertemu dengan Yesus. Ketika Andreas dan Filipus menyampaikan perihal orang-orang Yunani yang mau bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab dengan kata-kata soal kematian-Nya. Menariknya, Yesus menyebutnya dengan “dimuliakan”. "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan" (Yoh. 12:23). Dimuliakan bagi Yesus bukanlah menerima kehormatan, kekayaan, atau kekuasaan seperti raja-raja dunia. "Dimuliakan" bagi Yesus adalah seperti biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati, baru dia menghasilkan banyak buah. Kemuliaan adalah derita dan kematian-Nya. Orang mengira kematian adalah akhir segalanya. Namun, kematian Yesus justru menjadi awal tersebarnya Kabar Baik ke seluruh penjuru dunia. Kematian Yesus adalah kemuliaan yang membawa keselamatan bagi seluruh dunia. Apa buktinya? Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesus dimuliakan oleh Bapa-Nya. Ketaatan Yesus melalui doa, ratap tangis, dan dalam derita membuat Ia dimuliakan. Bukan hanya sampai di situ, "... sesudah Ia disempurnakan, Ia menjadi sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya ..." (Ibr. 5:9). Jalan derita dan kematian yang ditempuh Yesus adalah jalan kemuliaan yang membawa keselamatan.

Pada saatnya, para murid juga perlu menempuh jalan derita yang membawa kemuliaan itu. Yesus bahkan menghendaki murid-murid-Nya agar tidak mencintai nyawa mereka sendiri. Artinya, tidak takut kehilangan nyawa demi sesuatu yang jauh lebih berharga, yakni Kerajaan Allah. Kemuliaan Yesus adalah dengan mederita dan mati. Jalan Yesus adalah jalan salib dan penderitaan. Karena itu jika orang hanya ingin mencari selamat sendiri, mereka justru akan gagal. Namun, mereka yang tahu bahwa jalan yang ditempuh adalah penderitaan dan bersedia menderita, maka ia akan masuk dalam kehidupan abadi di dalam Allah. Itulah kemuliaan yang Yesus maksudkan. Yesus menyatakan bahwa setiap orang yang mau melayani-Nya, menjadi pengikut-Nya, juga harus mengikuti jalan-Nya. Di mana Ia berada, di situ ia berada. Artinya, jika kita mau mengikut Tuhan dan melayani-Nya, kita juga harus menempuh jalan yang ia tempuh; jalan salib dan penderitaan.

Jika demikian, masihkah kita mau memilih Yesus dan jalan "kemuliaan"-Nya? Bagi banyak orang yang hanya mencari kenikmatan, tentu mengikut Yesus menjadi tidak menarik. Namun, justru dalam kehinaan, penderitaan, dan kematian-Nya, Yesus menarik semua orang kepada-Nya. Dalam kematian-Nya, Ia ditinggikan dan dimuliakan, dan melaluinya Ia menarik kita datang kepada-Nya. Jadi, jika kita mengaku percaya dan mau mengikut Kristus, kita juga harus melalui jalan yang Yesus ambil, meneladani-Nya, merangkul derita dan masuk dalam kemuliaan-Nya.

Tidak ada cara lain. Begitulah yang harus dilalui ketika kita menjawab panggilan Yesus. Memilih jalan kemuliaan adalah memilih jalan derita. Ketika kita mengikuti jalan salib-Nya, ia juga membawa kita ke jalan kemuliaan-Nya. Bukan berarti juga kemudian kita mencari-cari derita, atau mencari kematian. Setiap hari kita hidup dalam ancaman, dalam derita, dalam bayang-banyang kamatian. Memilih jalan derita adalah bersedia merangkul segala pergumulan hidup dan derita dunia itu dengan taat dan setia sebagaimana Yesus merangkul kematian yang membawa kemuliaan. Ia memanggil kita dan Ia juga yang meneguhkan dan menguatkan kita. Jika kita mau menladan Kristus dalam jalan salib-Nya, percayalah Ia juga memampukan kita untuk menjalaninya. Tuhan menyartai kita. Amin.

Jumat, 08 Maret 2024

ANUGERAHNYA PULIHKANKU

 Minggu Prapaskah IV

Bilangan 21 : 4 - 9; Mazmur 107 : 1 - 3, 17 - 22; Efesus 2 : 1 - 10; Yohanes 3 : 14 - 21 


Setiap orang yang sakit pasti membutuhkan pemulihan dan untuk itu beragam upaya dilakukan demi pulih dari sakit yang diderita. Seringkali kita menemukan, berapapun biayanya, sejauh apapun rumah sakitnya, bagaimanapun pengobatannya, semua akan diupayakan demi sebuah kata, yaitu pulih. Saudara, rupanya sakit yang diderita oleh manusia bukan hanya sakit secara fisik tetapi juga sakit karena dosa dan pelanggaran yang dilakukan. 

Kondisi sakit karena dosa ini dapat kita temukan dalam bacaan pertama di kitab Bilangan 21 : 4 - 9 yang merupakan bagian dari kisah perjalanan bangsa Israel menuju tanah perjanjian, Kanaan. Dalam perjalanan kala itu nampaknya 430 tahun di tanah perbudakan sekalipun hidup susah namun juga nyaman, membuat orang Israel tidak dapat tahan hidup lebih susah dari Mesir. Karena dalam perjalanan itu mereka mulai kehabisan roti dan air yang merupakan bekal dan kebutuhan dalam perjalanan mereka. 

Dalam kondisi itu, sayangnya anugerah pemulihan dari Allah yang telah diberikan kepada mereka melalui bebas dan pulihnya mereka dari perbudakan di Mesir tidak mereka syukuri. Karena alih-alih untuk bersyukur, mereka akhirnya tidak dapat menahan hati, melawan dan mengeluh kepada Allah dan Musa. 

Walaupun ada orang yang membela apa yang dilakukan orang Israel, karena dalam kondisi sulit mereka bener kok karena mengeluh pada Tuhan, mereka seakan tetap mencari Tuhan, dan melakukan tindakan yang benar. Namun ternyata mengeluh di sini bukan sebagai wujud keberserahan atau tetap punya pengharapan pada Tuhan dan dekat pada Tuhan. Sebaliknya, mereka malah menyalahkan Tuhan, tidak mengindahkan anugerah pemulihan yang Allah sudah berikan, dan ungkapan tidak dapat menahan hati dan melawan Allah justru menjadi sebuah sikap bahwa mereka ingin menjauh dari Tuhan. 

Dalam kondisi yang hendak menjauh dari Tuhan itu, Tuhan mendatangkan ular-ular tedung di tengah-tengah mereka untuk memagut mereka sehingga mereka mati. Menurut https://www.gramedia.com/best-seller/ular-berbisa/, di Australia jenis ular tedung dinyatakan sebagai ular paling berbisa dan patut untuk diwaspadai sebab sekitar 60% orang meninggal karena gigitannya. Ditambah lagi, ular tedung coklat dewasa dikenal sebagai ular yang gerakannya cepat dan agresif.

Pertanyaannya, mengapa Allah mendatangkan ular tedung? Apakah Ia sedang menghukum orang Israel karena apa yang mereka perbuat kepada Allah? Jika kita perhatikan kembali kalimat dalam bacaan, justru kita akan menemukan bahwa Allah mendatangkan ular tedung untuk memberi gambaran pada orang Israel kala itu yang ingin menjauh dari Tuhan. Bahwa orang yang jauh dari Tuhan bukan pulih melainkan binasa dan mati. Dan ketika mereka kembali mengaku dosa dan meminta pengampunan dari Allah, Allah tetap berkenan memulihkan mereka. 

Di bagian ini, orang Israel kembali diperlihatkan bahwa hanya dekat dan dari Allahlah mereka dapat sembuh dan selamat. Hal ini jugalah yang diungkapkan oleh pemazmur dalam Mazmur 107 bahwa orang yang berseru kepada Tuhan dalam kesesakan, akan diselamatkan dari kesusahan mereka. Dan akhirnya mereka yang diselamatkan akan bernyanyi syukur, mempersembahkan kurban syukur dan menceritakan pekerjaan Allah dengan sorak-sorai!

Sementara itu dalam Perjanjian Baru, Paulus kembali mengingatkan jemaat di Efesus dalam Efesus 2 : 1 - 10 bahwa mereka juga adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran dan berdosa karena hidup dalam hawa nafsu daging, menuruti kehendak daging dan pikiran. Bahkan Paulus juga menegaskan bahwa pada dasarnya kita adalah orang-orang yang harus dimurkai oleh Allah. Tetapi karena rahmat dan kasih Allah yang besar, Ia telah menghidupkan, membangkitkan dan dan memberi kita anugerah pemulihan a.k.a keselamatan. 

Inilah yang kemudian diceritakan oleh Yesus dalam percakapannya dengan Nikodemus, seorang Farisi dan pemimpin Yahudi. Bahwa anugerah pemulihan dari Allah didasarkan pada kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia menganugerahkan anakNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal dan dunia pun diselamatkan melalui Dia. 

Namun demikian, mendapat anugerah pemulihan dan keselamatan dari Allah bukan berarti kita hanya menerima semata. Karena Paulus mengingatkan bahwa pemberian dari Allah ini diberikan Allah agar kita melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah buat hidup kita. Ia mau kita hidup didalamnya. Artinya, Allah mau kita menghidupi anugerah pemulihan itu di dalamNya dan di dalam karya-karya kehidupan kita kepadaNya. 

Untuk itu, melalui firman Tuhan hari ini kita sama-sama kembali diingatkan: 

1. Setiap kita telah menerima anugerah dari Tuhan, yaitu pemulihan dan keselamatan dari sakit dan dosa kita

2. Keselamatan dan pemulihan dari Allah ini kiranya tidak kita sia-siakan. Karena menyia-nyiakannya sama dengan menyia-nyiakan Allah, dan menyia-nyiakan Allah bukan selamat melainkan binasa (belajar dari orang Israel dalam Bilangan 21)

3. Kiranya keselamatan dan pemulihan yang telah kita terima, membuat kita terus melakukan pekerjaan baik dalam hidup kita sebagai nyanyian syukur kita kepada Tuhan dan sebagai cara kita menceritakan pekerjaan Allah dengan sorak-sorai! 

Selamat merayakan anugerah pemulihan dari Allah dan giatlah terus menceritakan pekerjaan Allah dalam kehidupan kita. Tuhan mengasihi kita semua. Amin.

(mc) 

Kamis, 29 Februari 2024

Kemarahan dalam Cinta-Nya

Minggu Pra Paskah III 

Keluaran 20:1-17 | Mazmur 19 | 1 Korintus 1:18-25 | Yohanes 2:13-22


Dari Alkitab, kita mendapat gambaran bahwa Allah dapat hadir dalam dua gaya yang berbeda. Gaya yang pertama, Allah hadir dengan menyenangkan karena menganugerahkan pengampunan, perlindungan dan berkat bagi umat-Nya. Gaya yang kedua, Allah hadir dengan menyeramkan karena mengancam dan menghukum manusia yang berpikir jahat, bertindak jahat dan keburukan lain. Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa ternyata cukup banyak orang yang lebih suka memberitakan Allah dan kemarahan-Nya. Ingat saja Yunus yang begitu bersemangat memberitakan kemarahan Allah kepada masyarakat Niniwe. Yunus berikutnya menjadi begitu kecewa ketika Allah lebih ingin menunjukkan kemurahan hatinya ketimbang kemarahan-Nya.

Daaann…dalam bacaan Injil hari ini kita mendapati Yesus yang marah di Bait Allah. Lalu bagaimana kita harus merenungkannya?


Pertama, cerita kemarahan selalu diikuti dengan cerita kemurahan Allah.

Saudari-saudara, memang benar bahwa Alkitab menyebutkan tentang kemarahan Allah. Namun sadari pulalah bahwa bukti-bukti kemarahan Allah tak pernah menjadi bukti tunggal. Lihatlah bagaimana rangakaian kisah Yesus di bait Allah. Ketika Dia datang untuk merayakan Paskah di Yerusalem Yesus marah, Yohanes 2:15-16 menyebut,

“Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Allah             dengan semua domba dan lembu mereka. Uang penukar-penukar             dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada         pedagang-pedagang merpati Ia berkata, “Ambil semuanya dari sini! Jangan     kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!”

Kemarahan Yesus ini disebabkan oleh karena terjadinya perdagangan hewan kurban di halaman Bait Allah. Untuk kita ingat bersama bahwa halaman bait Allah adalah tempat di mana orang non-Israel dapat beribadah kepada Allah. Sebab mereka tak diperkenankan memasuki bagian halaman untuk kaum Perempuan dan halaman untuk kaum laki-laki Israel apalagi bagian Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus. Dengan terjadinya perdagangan di halaman, maka kesempatan bagi bangsa asing untuk beribadah kepada Allah menjadi sangat terbatas dan penuh gangguan. Yesus tak rela keserakahan menguasai bathin umat Allah.

Keserakahan ini bukan hanya soal memakan lahan peribadahan sesamanya, namun juga muncul dalam perdagangan yang penuh kecurangan. Mereka yang membawa hewan kurban sendiri namun dinyatakan tak layak akan diharuskan membeli hewan kurban yang ada di halaman itu dengan harga yang berlipat. Demikian pula dengan mereka yang hendak mempersembahkan uang harus menukar dengan mata uang dirham dengan nilai tukar yang tinggi dan memberatkan umat yang mau beribadah. Maka kemarahan Yesus sejatinya lebih merupakan ekspresi Cinta-Nya bagi mereka yang tergolong sebagai sang liyan – orang asing dan juga kemurahan hati bagi semua umat yang dihimpit keserakahan sesamanya saat hendak menyembah Allah. Cinta Allah ini tercurah bagi umat yang mau hidup dalam kekudusan dan kebenaran.


Kedua, Allah setia memelihara kekudusan dan kebenaran umat

Dalam Keluaran 20:1-17 kita berjumpa dengan sepuluh perintah Tuhan. Sepuluh perintah ini dimulai dengan sebuah kalimat penginat bagi umat. “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Ini sebuah penegasan bagi umat bahwa Allah sedemikian setia. Ia yang sudah menyelamatkan itu kini ingin terus menyertai dan menjaga hidup umat dalam kebenaran-Nya. Maka sepuluh perintah adalah petunjuk mengenai cara merespons kesetiaan Allah. Umat dapat merespons dengan bertindak setia dan taat pada perintah Allah.

Saat kita kembali pada Injil maka kita temukan komitmen Allah ini makin nyata dalam ucapan Yesus berikutnya di bait Allah. Saat Yesus berkata, “Runtuhkanlah Bait Suci ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya,” Yesus sedang menghubungkan diri-Nya sebagai Bait Allah yang sejati. Yesus rela bahwa diri-Nya akan turut hangus/diruntuhkan demi menyucikan dan memelihara kekudusan serta kebenaran umat-Nya. Tak semua langsung bisa memahami, namun ketika dapat memahaminya maka sejatinya semua dapat menghayati bahwa Yesus telah menyucikan kita semua. Kita yang telah disucikan-Nya dilayakkan-Nya menjadi bait suci-Nya. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 6:19-20 “Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu adalah bait Roh Kudus yang tinggal diam di dalam kamu, Roh yang kamu peroleh dari Allah? …. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”

Maka panggilan kita selanjutnya adalah mengerjakan apa yang disebutkan oleh surat Titus 2:11-12, “Sebab sudah nyatalah anugerah Allah yang menyelamatkan semua manusia dan mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan saleh di dalam dunia sekarang ini.” Dengan kita mengerjakan kebenaran itu membuktikan kemurahan hati Allah Sang Cinta bukan sesuatu yang murahan. Cinta Allah justru mendorong kita meninggalkan cara hidup yang murahan tanpa harus diancam dengan kemarahan Allah. Hanya sikap hidup yang ditopang oleh Cinta Allah saja yang membuat umat Tuhan dapat menghadapi tantangan hidup hari-hari ini seperti kesalehan palsu, ketidaksetiaan bahkan pengkhianatan, pementingan diri sendiri, dsb.
ypp