Sabtu, 14 Desember 2019

HARUSKAH KAMI MENANTIKAN ORANG LAIN?

Minggu Adven III
Yesaya 35:1-10 | Mazmur 146:5-10 | Yakobus 5:7-10 | Matius 11:2-11


Minggu ini kita memasuki Minggu Adven ketiga, Minggu Gaudete atau Sukacita. Banyak gereja ataupun umat yang sudah mulai memasang pohon terang, mungkin sudah mendekorasi rumahnya dengan kemeriahan Natal. Di beberapa gereja, lilin yang dinyalakan pun adalah lilin berwarna merah muda/rose, campuran dari warna ungu (simbol Adven) dan warna putih (simbol Natal). Warna merah muda melambangkan sukacita di tengah penantian, karena kita sudah separuh jalan. Ada sukacita di tengah penantian karena sebentar lagi kita akan merayakan Natal dengan sukacita yang lebih besar, sukacita karena kelahiran Sang Imanuel.
Akan tetapi, pada Minggu Sukacita ini kita justru disuguhkan kisah tentang keragu-raguan, kisah putus asa seorang Yohanes Pembaptis yang berada di dalam penjara. Seruan pertobatan yang dikumandangkan Yohanes ternyata menggerakkan rakyat, bahkan berpotensi menimbulkan revolusi, sehingga membahayakan kedudukan Herodes sebagai raja boneka Romawi. Selain itu, Yohanes juga pernah mengecam keras perkawinan Herodes dengan Herodias, istri dari saudara tiri Herodes. Itulah yang membuat Herodes memanjarakan Yohanes. Dalam penjara, Yohanes menerima kunjungan para muridnya yang memberitakan kepadanya tentang Yesus. Kepada murid-muridnya ini jugalah Yohanes menyampaikan keragu-raguan dan menitipkan pertanyannya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?”
Minggu lalu kita melihat bagaimana Yohanes dengan semangat berkobar-kobar menyatakan “Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya” (Mat. 3:11). Saat ini, kisah melompat jauh ke dapan dan berbalik 180 derajat. Yohanes tidak lagi berseru-seru di padang gurun, melainkan mendekam dalam pejara yang gelap dan sempit. Ia tidak lagi berseru dengan lantang, melainkan terdiam dalam pertanyaan yang berkecamuk. Ia mulai meragu, dan dalam keragu-raguannya ia mulai mempertanyakan apakah Yesus adalah benar-benar Mesias yang dinantikan itu. Yohanes yang tadinya dipenuhi keyakinan sekarang mengalami keragu-raguan. Dalam keadaan yang tertekan dan menderita di dalam penjara, sepertinya Yohanes pun meragukan pandangannya mengenai Mesias selama ini. Ia membayangkan Mesias yang memegang kapak untuk menebang pohon, yang membaptis dengan Roh Kudus dan api, yang mungkin ia bayangkan seperti layaknya orang Yahudi pada umumnya yakni Mesias yang datang dengan kekuatan dan kekuasaan untuk melaan penjajahan.
Ternyata Yesus yang ditunjuknya sebagai Mesias tidaklah seperti gambarannya. Mesias yang harusnya berjuang dengan kekuatan bersama orang-orang yang revolusioner, Mesias yang seharusnya bisa diandalkan dan dibanggakan, malah bergaul dengan orang-orang buangan dalam masayarakat; melayani orang-orang lemah dan tidak berdaya. Dan tepat seperti itulah jawaban Yesus kepada murid-murid Yohanes, “… orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” Apa yang Yesus lakukan ternyata sudah dinubuatkan Nabi Yesaya pada masa lalu, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka … orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai” (Yes. 35:5-6). Di sinilah Yesus menyatakan penggenapan nubuat itu. Yesus adalah Mesias bagi yang lemah dan terpinggirkan.
Pada Minggu Adven ke-3 ini, saat sukacita semakin terasa karena mendekati kedatangan Kristus, Firman Tuhan justru menunjukkan kita penderitaan, kegelisahan, dan keragu-raguan seorang Yohanes Pembaptis. Nyatanya, beberapa psikolog dan psikiater justru semakin semakin sering melayani konseling ketika mendekati libur Natal. Ternyata mendekati akhir tahun banyak orang yang mengalami kegelisahan, stres berat, depresi, putus asa, bahkan berpotensi bunuh diri.
Jangan-jangan pertanyaan Yohanes Pembaptis, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” juga adalah pertanyaan kita. Mungkin saja saat ini kita diliputi keragu-raguan akan Mesias sang penyelamat ketika banyak masalah dalam hidup kita; ketika biaya hidup meningkat dan kebutuhan semakin banyak; ketika kita mengalami sakit keras dan harus terbaring lemah; ketika kita gagal dalam ujian semester atau usaha menjadi sepi pelanggan; ketika kita dimarahi habis-habisan olah atasan di kantor atau justru harus di-PHK; ketika rumah tangga kita mengalami guncangan entah karena masalah komunikasi atau masalah ekonomi; ketika dunia ini semakin porak-poranda dan kebencian mengusai; ketika di sana-sini terjadi kemiskinan, kelaparan, peperangan, terorisme, dan bencana alam. Dalam keadaan seperti ini, mungkin kita bertanya-tanya, “Apakah Kristus yang kita nantikan adalah benar Kristus yang akan membarui segala sesuatu?” “Diakah yang akan datang itu atau haruskah kita menantikan orang lain?”
Sebenarnya kita bisa menimbang apakah pertanyaan Yohanes Pembaptis itu adalah pertanyaan keragu-raguan atau pertanyaan iman? Pertanyaan itu didasari oleh spekulasi atau introspeksi? Oleh kekecewaan atau oleh pemahaman yang baru bahwa jangan-jangan kehendak Allah tidak selalu sesuai dengan apa yang ia harapkan? Dari sini kita pun bisa menilai pertanyaan-pertanyaan kita akan Allah. “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” menjadi pertanyaan untuk menyatakan kegamangan kita terhadap segala sesuatu yang terjadi. Pertanyaan itu juga menjadi introspeksi bagi diri kita sendiri, apakah kita menantikan Allah atau hanya menantikan apa yang kita inginkan dari Allah. Dan yang terutama ialah pertanyaan itu menjadi ekspresi penantian dan pengharapan kita di tengah segala kesulitan hidup.

Pada Minggu Adven ke-3 ini, biarlah pertanyaan Yohanes juga menjadi pertanyaan kita. Bertanyalah bukan untuk menjawabnya atau mencari solusinya, melainkan untuk terus menanti, berpengharapan, dan pada saatnya mengagumi jawaban Allah. Sebagaimana jawaban Yesus kepada Yohanes, “… berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku,” demikianlah kita di tengah segala kesulitan dan penderitaan hidup terus berpegang pada pengharapan kita dan berbahagia karena tidak menjadi kecewa dan menolak-Nya. Maranata! (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar