Malam Natal
Yesaya 9:1-6 | Mazmur 96 | Titus 2:11-14 | Lukas
2:1-20
Kita mengimani Yesus
Kristus sebagai Raja yang mulia. Namun, kisah kelahiran-Nya jauh dari kisah
pangeran dan istana dalam dongeng. Sang Mesias lahir justru bukan di tempat
yang selayaknya, apalagi di istana. Ia lahir dari sepasang manusia yang bukan siapa-siapa,
di tengah rakyat jelata yang sedang mengantri untuk menjalani sensus.
Hiruk-pikuk rakyat yang mengikuti sensus itu memaksa sang ibu muda yang bukan
bangsawan ini untuk beristirahat dan melahirkan di ruang bawah, tempat
istirahat ternak di malam hari; bersama kambing, domba, lembu, sapi. Kelahiran
Yesus akrab dengan kesederhanaan dan keprihatianan.
Namun demikian, dalam
kesederhanaan itulah kemuliaan-Nya dinyatakan. Dalam diri Yesus Kristus, kemuliaan
dan kehinaan menyatu; kemuliaan Allah merengkuh kehinaan manusia; Ia yang Mahamulia merangkul manusia-manusia yang hina dan terpinggirkan. Kemuliaan
inkarnasi Allah yang menjadi manusia ini pun tidak disaksikan oleh para
bangsawan atau raja-raja dan pembesar-pembesar, melainkan oleh para gembala,
kumpulan manusia yang dianggap najis, dipinggirkan dan diasingkan, dibungkam
dan tak didengar suaranya. Dengan ini, Allah justru mau menyatakan kemuliaan
yang bukan dalam kekuasaan dan kehormatan yang dikejar oleh manusia, melainkan kemuliaan dalam kesederhanaan. Siapa pun dapat dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Malam ini kita merayakan
kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam kesederhanaan. Namun demikian, janganlah
ini hanya menjadi cerita dan retorika, tetapi menjadi refleksi dan pengingat bagi
kita bersama. Mari melihat kembali seperti apa Natal dirayakan selama ini?
Bukankah di sana-sini kita melihat perayaan Natal yang penuh dengan kemewahan
dan keglamoran, pesta pora dan kemeriahan? Perayaan Natal menjadi sandiwara
munafik, di mana orang-orang menyanyi Malam Kudus, memasang pohon terang dan
oranamen-ornamen, sibuk dengan perayaan-perayaan Natal bahkan sejak masa Adven,
tetapi dunia terus dipenuhi dengan kebencian dan permusuhan, peperangan dan
teror, penindasan dan ketakutan. Banyak orang yang miskin dan lapar, mengungsi
karena perang, menderita karena bencana alam, kecewa, putus asa, depresi,
bahkan berniat bunuh diri, namun luput dari perhatian dan kepedulian mereka
yang lebih sibuk membeli baju baru atau bertukar kado.
Bukankah Yesus yang mulia
lahir dalam kesederhanaan? Bukankah Allah yang mahatinggi itu berpihak kepada
mereka yang rendah, miskin, mederita, terabaikan, dan dianggap sampah oleh
masyarakat? Karena itu, jika kita mengaku sebagai murid-murid Kristus,
pantaskah kita merayakan Natal dengan segala kemewahan dan kemeriahan tanpa
peduli pada sesama yang menderita? Kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah dalam
perayaan-perayaan dengan kemewahan, bukan dengan harta benda dan kekayaan yang
melimpah, melainkan dengan setia menebarkan cinta kasih Allah, dengan
kepedulian pada sesama, dengan berbagi rahmat kepada semesta, dengan
memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
Kristuslah teladan
kesederhaan dan kepedulian. Marilah memulai untuk menajamkan kepekaan kita
terhadap kebutuhan sesama. Mulailah dari diri sendiri dan dari hal-hal
sederhana. Berikanlah perhatian kepada orang di samping kita. Doakanlah mereka
yang bergumul dengan sakit dan masalah pribadinya. Salurkanlah bantuan bagi
korban bencana. Bangunlah kerja sama dengan masyarakat dan lembaga masyarakat
atau agama. Kembangkanlah gaya hidup yang ramah terhadap lingkungan hidup.
Lakukanlah semua dengan sukacita dan tanpa pamrih. Marilah merayakan kelahiran
Kristus yang mulia di dalam kesederhaan dan kepedulian. Selamat Natal! (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar