Selasa, 24 Desember 2019

KEMULIAAN DALAM KESEDERHANAAN


Malam Natal
Yesaya 9:1-6 | Mazmur 96 | Titus 2:11-14 | Lukas 2:1-20


Kita mengimani Yesus Kristus sebagai Raja yang mulia. Namun, kisah kelahiran-Nya jauh dari kisah pangeran dan istana dalam dongeng. Sang Mesias lahir justru bukan di tempat yang selayaknya, apalagi di istana. Ia lahir dari sepasang manusia yang bukan siapa-siapa, di tengah rakyat jelata yang sedang mengantri untuk menjalani sensus. Hiruk-pikuk rakyat yang mengikuti sensus itu memaksa sang ibu muda yang bukan bangsawan ini untuk beristirahat dan melahirkan di ruang bawah, tempat istirahat ternak di malam hari; bersama kambing, domba, lembu, sapi. Kelahiran Yesus akrab dengan kesederhanaan dan keprihatianan.

Namun demikian, dalam kesederhanaan itulah kemuliaan-Nya dinyatakan. Dalam diri Yesus Kristus, kemuliaan dan kehinaan menyatu; kemuliaan Allah merengkuh kehinaan manusia; Ia yang Mahamulia merangkul manusia-manusia yang hina dan terpinggirkan. Kemuliaan inkarnasi Allah yang menjadi manusia ini pun tidak disaksikan oleh para bangsawan atau raja-raja dan pembesar-pembesar, melainkan oleh para gembala, kumpulan manusia yang dianggap najis, dipinggirkan dan diasingkan, dibungkam dan tak didengar suaranya. Dengan ini, Allah justru mau menyatakan kemuliaan yang bukan dalam kekuasaan dan kehormatan yang dikejar oleh manusia, melainkan kemuliaan dalam kesederhanaan. Siapa pun dapat dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Malam ini kita merayakan kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam kesederhanaan. Namun demikian, janganlah ini hanya menjadi cerita dan retorika, tetapi menjadi refleksi dan pengingat bagi kita bersama. Mari melihat kembali seperti apa Natal dirayakan selama ini? Bukankah di sana-sini kita melihat perayaan Natal yang penuh dengan kemewahan dan keglamoran, pesta pora dan kemeriahan? Perayaan Natal menjadi sandiwara munafik, di mana orang-orang menyanyi Malam Kudus, memasang pohon terang dan oranamen-ornamen, sibuk dengan perayaan-perayaan Natal bahkan sejak masa Adven, tetapi dunia terus dipenuhi dengan kebencian dan permusuhan, peperangan dan teror, penindasan dan ketakutan. Banyak orang yang miskin dan lapar, mengungsi karena perang, menderita karena bencana alam, kecewa, putus asa, depresi, bahkan berniat bunuh diri, namun luput dari perhatian dan kepedulian mereka yang lebih sibuk membeli baju baru atau bertukar kado.

Bukankah Yesus yang mulia lahir dalam kesederhanaan? Bukankah Allah yang mahatinggi itu berpihak kepada mereka yang rendah, miskin, mederita, terabaikan, dan dianggap sampah oleh masyarakat? Karena itu, jika kita mengaku sebagai murid-murid Kristus, pantaskah kita merayakan Natal dengan segala kemewahan dan kemeriahan tanpa peduli pada sesama yang menderita? Kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah dalam perayaan-perayaan dengan kemewahan, bukan dengan harta benda dan kekayaan yang melimpah, melainkan dengan setia menebarkan cinta kasih Allah, dengan kepedulian pada sesama, dengan berbagi rahmat kepada semesta, dengan memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Kristuslah teladan kesederhaan dan kepedulian. Marilah memulai untuk menajamkan kepekaan kita terhadap kebutuhan sesama. Mulailah dari diri sendiri dan dari hal-hal sederhana. Berikanlah perhatian kepada orang di samping kita. Doakanlah mereka yang bergumul dengan sakit dan masalah pribadinya. Salurkanlah bantuan bagi korban bencana. Bangunlah kerja sama dengan masyarakat dan lembaga masyarakat atau agama. Kembangkanlah gaya hidup yang ramah terhadap lingkungan hidup. Lakukanlah semua dengan sukacita dan tanpa pamrih. Marilah merayakan kelahiran Kristus yang mulia di dalam kesederhaan dan kepedulian. Selamat Natal! (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar