Jumat, 06 Desember 2024

Persiapkanlah Jalan bagi Tuhan! (Minggu Adven II)

 Minggu Adven II 

PERSIAPKANLAH JALAN BAGI TUHAN! 

Maleakhi 3:1-4, Lukas 1:68-79, Filipi 1:3-11, Lukas 3:1-6


Dalam menggarap sebuah acara, baik besar atau kecil, ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan:

Pertama adalah persiapan. Persiapan adalah masa yang menunjukkan kesibukan setiap orang yang berpartisipasi dalam membagi ide, membagi tugas atau peran, sampai mempersiapkan semua hal secara terperinci. Persiapan dimulai sejak jauh hari sampai beberapa jam sebelum acara dimulai. 

Kedua adalah pelaksanaan. Pada umumnya, pelaksanaan menyangkut jalannya rangkaian acara dari awal sampai akhir. Pada acara-acara tertentu, pelaksanaan membutuhkan respons dari orang-orang yang berpartisipasi dalam acara tersebut. 

Ketiga adalah kelanjutan. Isinya adalah penilaian dan tindakan berikutnya agar acara yang sudah berjalan dapat dinilai secara terukur sehingga menjadi modal yang baik untuk acara selanjutnya.

Pada intinya, ketiga hal ini saling berkaitan dan tidak boleh dilupakan. Kalau persiapannya baik, maka pelaksanaan dan penilaiannya juga baik. Pelaksanaan yang baik akan menghasilkan pengalaman berkesan sehingga proses kelanjutannya dapat menjadi semakin baik. Kelanjutan yang baik akan menolong persiapan dan pelaksanaan acara berikutnya menjadi semakin sempurna.


Terkait dengan keempat bacaan leksionari hari ini, maka keempatnya memuat unsur yang hampir sama, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan kelanjutan

Dari Maleakhi 3:1-4, berita tentang kehadiran Allah di tengah kehidupan menjadi dasar persiapan dengan adanya utusan yang mempersiapkan jalan di hadapan Tuhan (ay.1), sehingga dalam pelaksanaannya, Allah yang hadir dapat berkarya dengan cara memurnikan, mentahirkan, dan menyucikan (ay.2-3). Oleh karena semua itu dipersiapkan dengan baik, maka manusia dapat melanjutkan dengan tindakan pemberian persembahan yang menyenangkan hati Tuhan seperti yang sudah-sudah (ay.4). 

Dari Lukas 1:68-79, kemuliaan Allah menjadi pujian Zakharia, yang menunjukkan persiapannya dengan mengingat segala sesuatu yang sudah terjadi pada masa lalu (ay. 70-75), menceritakan apa yang sedang terlaksana (ay.68-69), untuk waktu kelanjutan yang akan datang (ay.76-79).

Dari Filipi 1:3-11, kita juga belajar bahwa Paulus mempersiapkan umat-Nya dengan menceritakan apa yang sudah terjadi (ay.1-5), menegaskan karya yang ia kerjakan sebagai pelaksanaan di saat tersebut (ay.6-8), sehingga pada kelanjutannya ia mengharapkan yang baik itu terus terjadi di tengah kehidupan jemaat (ay.9-11).

Dari Lukas 3:1-6, kita belajar bahwa seruan Yohanes Pembaptis untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya di tengah konteks yang tidak mudah adalah hal yang sudah harus dikerjakan (ay.1-2). Seruan pertobatan dan pembatisan adalah tindakan pelaksanaan yang  nyata bagi yang sungguh-sungguh bersiap menyambut Dia (ay.3-6). Jika kita teruskan pembacaan kita pada ayat-ayat berikutnya, maka kita akan melihat kelanjutan tindakan dan harapan yang diberitakan kepada banyak orang (ay.18). 


Dari sini kita belajar  bahwa mempersiapkan jalan bagi Tuhan bukan hanya tindakan rutinitas tahunan ketika kita ditegur atau diingatkan, tetapi ketika kita memasuki Minggu Adven kedua kita harus bisa mempersiapkan, melaksanakan, serta melanjutkan semua karya keselamatan Allah dalam kehidupan kita.

Persiapan: di Minggu Adven kedua ini, marilah kita mempersiapkan diri kita sendiri untuk menerima pertobatan. Semua kasih Allah yang sudah pernah dilakukan-Nya menjadi alasan bagi kita untuk tidak lagi menunda dan tidak lagi jatuh ke dalam dosa.

Pelaksanaan: di Minggu Adven kedua ini, kita semakin sadar bahwa fokus dari Adven adalah untuk mempersiapkan kita menyambut Yesus yang lahir di tengah dunia. Jangan sampai, semua kesibukan acara Natal, panitia Natal, aktivitas akhir tahun malah membuat kita kehilangan makna Natal.

Kelanjutan: kasih dari Allah harus terus dilanjutkan, sehingga semakin banyak orang yang merasakan bahwa sukacita atas kelahiran-Nya tidak terjadi pada momen tertentu saja, tetapi terus bergema, seperti Firman dalam Maleakhi, seperti pujian Zakharia, seperti sukacita Paulus, dan juga seperti suara Yohanes Pembaptis.


Kita hidup di masa kini dengan Minggu Adven kedua yang juga tidak jauh dari nilai dan tantangan kekinian. Marilah memasuki Minggu Adven kedua dengan persiapan, pelaksanaan, dan kelanjutan yang semakin mengarahkan kita pada Tuhan Yesus Kristus! (RA)

Rabu, 09 Oktober 2024

KELUARGA YANG MENOLAK EGOSENTRISME

Minggu Biasa XXVIII
Amos 5:6-7, 10-15 | Mazmur 90:12-17 | Ibrani 4:12-16 | Markus 10:17-31

Selain menggunakan perumpamaan, yang jarang diketahui orang adalah Yesus juga mengajar menggunakan aforisme, yakni pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum dan biasanya dicetuskan oleh tokoh yang penting. Dalam dunia filsafat, aforisme adalah gaya bahasa dalam kalimat-kalimat pendek yang mudah dicerna secara harafiah, tetapi sulit dipahami maknanya. Dalam teks Injil Minggu ini, Markus 10:17-31, perkataan Yesus yang merupakan aforisme adalah, "Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (ay. 25).

Bagaimana mungkin seekor unta melewati lubang jarum? Sungguh sulit dipahami. Namun, ada beberapa penafsiran untuk melogiskan perkataan ini. Tafsir pertama, yang lebih tua, berasal dari Bapa Gereja Cyrillus dari Alexandria. Ia pernah menyatakan bahwa kata "unta" yang dimaksud di sini bukanlah hewan pengangkut beban yang hidup di gurun, melainkan tali besar atau tali kapal. Menurutnya, ini merupakaan kesalahan pengejaan dalam Alkitab Bahasa Yunani. Seharusnya yang ditulis adalah καμιλος (kamilos) yang berarti 'tali besar' atau 'tali kapal', tetapi karena kesalahan eja menjadi καμηλος (kamelos) yang berarti 'unta'. Dengan ini, aforisme Yesus ini lebih masuk akal, karena tali adalah benda panjang seperti benang, walaupun tetap tidak mungkin memasukkan tali kapal melewati lubang jarum. Setidaknya masih lebih pada tempatnya daripada unta melewati lubang jarum. Hanya saja tafsiran ini kurang begitu populer bagi banyak kalangan.

Tafsiran yang cukup populer dan sering dipakai adalah tentang pintu lubang jarum. Lubang jarum diklaim sebagai sebuah gerbang kecil pada tembok kota yang dibuka setelah gerbang utama ditutup pada malam hari. Pintu lubang jarum itu berukuran kecil, hanya seukuran seekor unta. Biasanya jika para pedagang –yang membawa unta tentunya– pulang ke kota pada malam hari dan pintu gerbang utama telah ditutup, mereka akan masuk melalui gerbang lubang jarum. Akan tetapi, biasanya unta-unta itu membawa muatan di pundaknya sehingga muatan itu harus diturunkan dulu dan untanya harus menunduk agar dapat melalui pintu lubang jarum itu. Unta yang harus melepaskan muatan dan menunduk untuk masuk pintu lubang jarum disejajarkan dengan orang kaya yang harus melepaskan hartanya dan menundukkan dirinya untuk dapat masuk Kerajaan Allah. Namun, ini merupakan cerita pesudo-historis. Telah banyak penelitian dilakukan dan tidak pernah didapati bukti keberadaan pintu lubang jarum di Palestina. Cerita ini ternyata telah ada setidaknya sejak abad ke-15, dan mungkin dapat dilacak sejak abad ke-9. 

Upaya penafsiran untuk melogiskan "unta masuk lubang jarum" terlihat berfokus pada soal kekayaan dan materi, tentang bagaimana seseorang harus meninggalkan kemelekatan hal-hal material untuk dapat menerima kehidupan abadi. Memang perikop ini sering dipakai untuk berbicara soal kekayaan. Namun, perkataan Yesus itu tidak perlu dilogiskan untuk memahami soal kekayaan. David Lose, pendeta Gereja Lutheran Amerika Serikat, menawarkan sebuah penafsiran dari teologi Lutheran lama (…in the Meantime: Curing Our Heartsickness, 2015). Yesus sebenarnya tidak memaksudkan perkataan itu untuk bicara soal kekayaan dan kemelekatan. Perkataan itu lebih merupakan ilustrasi untuk menunjukkan ketidakmampuan mutlak ciptaan mendapatkan keselamatan atau kehidupan abadi, dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah saja.

Mari memperhatikan bagaimana orang muda yang kaya itu datang menemui Yesus. Kisah ini diawali dengan kalimat “... datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil berlutut di hadapan-Nya …” Orang itu datang dan bertelut di hadapan Yesus. Injil Markus mecatat beberapa kali orang datang dan bertelut, berlutut, atau tersungkur di hadapan Yesus (Mrk. 1:40; 3:11; 5:22; 5:33; 7:25) dan kesemuanya itu adalah orang-orang sakit –atau kerabat orang sakit– yang meminta kesembuhan kepada Yesus. Orang-orang itu tidak mampu untuk mendapatkan pemulihan dan hanya bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Tuhan. Dengan dasar ini, sebenarnya Injil Markus mau memperlihatkan ketidakmampuan si orang muda yang kaya ini untuk mendapatkan keselamatan atau hidup yang abadi, dan seharusnya dia bergantung mutlak pada Tuhan. Orang kaya ini termasuk dalam golongan orang-orang sakit yang bertelut dan tersungkur di hadapan Yesus, yang membutuhkan pemulihan dari Allah.

Lalu, apa penyakit orang muda yang kaya ini? Penyakitnya adalah ketidakpedulian dan egosentrisme. Ia memang memiliki pemahaman yang mantap tentang Hukum Taurat, bahkan ia menuruti semuanya itu; menghormati orang tua, tidak membunuh, tidak berzina, tidak mencuri, tidak mengucapkan saksi dusta, tidak mengurangi hak orang. Jika kita perhatikan, semua yang ducapkan Yesus di ayat 19 –dan sudah dilakukan orang muda ini– adalah hukum yang mengatur relasi dengan sesama. Yesus sepertinya sengaja mengungkapkan keenam hukum ini untuk berbicara soal relasi dengan orang lain. Di sinilah “penyakit” orang kaya itu terlihat. Semua yang dia lakukan itu berpusat pada dirinya sendiri sebagai ketaatannya pada hukum, bukan karena kepedulian terhadap orang lain. Itu sebabnya ketika Yesus menyuruhnya untuk menjual hartanya dan berbagi dengan orang miskin, dia menjadi kecewa. Yesus menantangnya untuk melakukan sesuatu melampaui hukum, untuk bertindak bukan karena aturan dan hukum, dan dia gagal menanggapi tantangan Yesus itu. Dia tidak memiliki kepedulian dan belarasa kepada orang miskin, sehingga ia memikirkan kerugian dirinya jika harus menjual hartanya dan membagikannya dengan orang miskin. Jadi, ketika Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang memiliki banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah", alasannya adalah karena banyak orang kaya yang lebih memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan untung-rugi sehingga kehilangan kepedulian dan rasa keadilan. Mereka melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri dan keberatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

Nabi Amos, dalam bacaan pertama (Am. 5:6-7, 10-15), juga menyuarakan kritik atas tindakan yang menindas untuk kepentingan diri sendiri. Kerajaan Israel di Utara pada waktu itu mengalami kemakmuran setelah kekalahan Siria oleh Asyur, sehingga mereka dapat membangun perdagangan yang menguntungkan. Hanya saja, kemakmuran itu hanya dirasakan oleh para pedagang dan raja-raja. Mereka tidak memperhatikan kaum petani dan orang-orang miskin, bahkan orang-orang kaya ini sering menindas yang miskin. Dalam kehidupan beragama, mereka sangat taat menjalankan semua ritual dan memberikan persembahan kepada Allah –yang didapat dengan memeras kaum miskin. Karena itu, Allah tidak senang dengan ibadah mereka dan mengutus Nabi Amos dari Tekoa di Yehuda untuk menubuatkan kehancuran Israel (ay. 2-3). Allah  memberikan kesempatan bagi Israel untuk dipulihkan. Namun, caranya bukan dengan segala ibadah ritual yang hanya berpusat pada diri sendiri. Mereka harus dipulihkan dari segala ketidakadilan, penindasan, dan kepura-puraan yang mereka lakukan melalui ritual-ritual kosong dan persembahan yang didapat dari pemerasan. Tuhan memberikan kehidupan bagi mereka jika mereka berlaku adil, tidak memeras dan menindas, serta peduli kepada orang lain.

Saudara-saudari, dari Firman Tuhan hari ini kita belajara bahwa kehidupan abadi itu bukan soal taat menjalankan hukum atau ritual agama, melainkan kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kehidupan bukan soal berbicara tentang keadilan, melainkan memberlakukan keadilan; bukan soal mencari hidup, melainkan berbagi hidup; bukan hanya tidak melakukan yang jahat, melainkan melakukan yang sebaliknya, yaitu kebaikan. Oleh karena itu, untuk  mendapatkan hidup yang abadi dalam Kerajaan Allah, Yesus mengajak kita untuk peduli, berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan berlaku adil kepada sesama. Kita harus dipulihkan dulu dari egosentrisme dan ketidakpedulian yang menghalangi dia untuk menerima kehidupan. Kita perlu mengarahkan diri kita bukan pada diri sendiri, melainkan kepada Allah dan kepada dunia yang dikasihi Allah ini.

(ThN)

Jumat, 04 Oktober 2024

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

 

KELUARGA YANG MEMPERJUANGKAN PERSATUAN

(MINGGU BIASA)

Kejadian 2:18-24 | Mazmur 8 | Ibrani 1:1-4, 2:5-12 | Markus 10:2-16

 

In A Relationship

“In a relationship”. Kira-kira demikianlah simpulan dari bacaan leksionari pada minggu ini. Dari situlah juga, kita berangkat untuk merefleksikan bahwa “in a relationship” bukanlah sebuah status di media sosial yang biasanya dipamerkan untuk menunjukkan hubungan yang dekat dengan seseorang, tetapi “in a relationship” merupakan relasi yang terus-menerus dibangun tanpa henti.

 

Karya Allah untuk Kehidupan Manusia

Dalam keempat bacaan kita pada hari ini, kita menemukan bahwa sesungguhnya Allah yang terlebih dahulu berkarya untuk kehidupan kita semua. Karya Allah yang sungguh-sungguh nyata itu membuat manusia bisa memiliki relasi yang baik dengan Tuhan dan juga dengan sesama.

 

Kitab Kejadian memberikan kesaksian bahwa Allah sudah berjuang untuk turut serta menghadirkan relasi yang baik untuk kehidupan manusia ciptaan-Nya, sehingga kita sadar bahwa sejak penciptaan, Allah berperan supaya manusia menjadikan mereka satu dalam relasi yang diperkenankan oleh Allah. Bukan karena sebatas keinginan manusia, tetapi juga ada kehendak dan karya Allah di dalamnya.

 

Kitab Mazmur memberikan penggambaran bahwa manusia yang sadar bahwa Allah yang benar-benar berjuang untuk kehidupannya akan meresponsnya dengan sungguh-sungguh juga berjuang memuliakan nama-Nya dan menjadikan Allah sebagai yang utama di dalam kehidupannya.

 

Sejalan dengan itu, Surat Ibrani juga menunjukkan bahwa upaya membangun relasi ditunjukkan lewat peran serta Allah melalui karya keselamatan dalam Yesus Kristus, yang bersedia untuk berjuang dalam mengalami penderitaan, kematian, dan kebangkitan demi menebus dosa manusia. Inilah keseriusan Allah dalam menyelamatkan manusia.

 

Maka dari itu, kerinduan kita untuk selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan diwujudkan juga dalam hidup bersama dengan orang-orang yang sudah Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita setiap hari, yaitu anggota keluarga kita, sahabat kita, rekan sekerja kita, saudara-saudari kita di gereja dan pelayanan kita, serta juga orang-orang lain yang Tuhan hadirkan di tengah kehidupan kita, akan menjadikan kita memiliki relasi yang sehat itu.

 

Memperjuangkan, Artinya Mengingat Sudah Dipersatukan (Mrk.10:2-9)

Di hadapan orang banyak, Yesus memperkenankan semua orang untuk belajar bahwa kehidupan manusia itu sejak awal dipersatukan oleh Allah. Dalam kasus bacaan kita, Yesus diperhadapkan dengan tatanan hidup orang-orang Israel pada masa itu yang berdasar pada ajaran Musa untuk dapat bercerai karena bangsa-Nya begitu keras hati. Akan tetapi, Yesus meluruskan ajaran kasih Allah yang menyelamatkan itu, yaitu dengan menekankan bahwa relasi yang dibangun dalam Allah, menjadikan setiap orang menjadi satu. Suzeugnumi (yang telah dipersatukan): diikat, tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Allah sendiri tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya. Allah selalu hadir dalam kehidupan kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita hayati dengan pemahaman bahwa Tuhan sudah, sedang, selalu bersungguh-sungguh menghadirkan karya terbaik bagi kehidupan kita semua.

 

Maka, Sakramen Perjamuan Kudus, selain sakral, sifatnya juga mempersatukan kita semua dalam relasi yang tidak terpisahkan, erat sekali, tanpa celah.

 

Perhatikan kalimat dalam Persiapan Perjamuan Kudus dan Pengantar: Apakah kita hidup dalam damai dengan Allah? Apakah kita hidup dalam damai dengan sesama kita: dengan istri atau suami, dengan orang tua atau anak, dengan saudara-saudara, dengan teman dan tetangga, dan dengan siapapun yang kita jumpai dalam kehidupan kita? Di dalam ketidaksempurnaan kita, kita percaya Allah menyucikan kita dari segala dosa kita, membarui hidup kita,

 

Karena itulah, kita pun akan dipersatukan dalam kasih Kristus melalui Perjamuan Kudus yang akan kita terima pada minggu ini. Itu adalah wujud persekutuan dan dipersatukan Allah yang sangat nyata yang bisa kita rasakan. Apa pun kondisi kita, Allah mempersatukan kita semua dalam tubuh dan darah Kristus.

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Setia (Mrk.10:10-12)

Hal menarik yang juga ditampilkan oleh Yesus adalah ketika selesai berbicara di hadapan orang banyak, Yesus mengambil waktu bersama para murid-Nya untuk menjelaskan lebih mendalam ajaran-Nya. Yesus ingin menekankan bahwa ada nilai kesetiaan yang besar di dalam setiap relasi yang sehat. Yesus ingin agar para murid paham bahwa kesetiaan itulah yang dibutuhkan.

 

Kesetiaan akan diuji di sepanjang waktu. Semakin panjang usia kesetiaan kita, maka semakin besar juga kualitas kesetiaan kita. Hal ini berlaku untuk relasi kita dengan Tuhan kita, Yesus Kristus Sang Juruselamat, dan juga relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Karena itulah, “in a relationship” pada bagian ini dapat kita simpulkan sebagai keinginan untuk terus-menerus membangun hubungan atas dasar kesetiaan yang kuat.

 

Jadi, jangan lagi bermain-main dengan kesetiaan! Yesus mulai menjelaskan tentang kesetiaan itu “ketika mereka sudah di rumah”, yang juga dapat direfleksikan bahwa kesetiaan itu harus dimulai dalam lingkungan terdekat kita, yaitu dari dalam rumah. Teruslah menjadi pribadi yang benar-benar setia: setia dalam Tuhan dan juga setia dengan kasih untuk orang-orang yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. Hidup bisa saja tidak abadi, tetapi kesetiaan kita di dunia akan jadi memori yang tidak akan terlupakan. Setialah dengan pasangan, setialah dengan pekerjaan, setialah dengan pelayanan dan mengasihi Tuhan!

 

Memperjuangkan, Artinya Mau Buka Hati (Mrk.10:13-16)

Ketika mereka kembali bersama dengan orang banyak, ternyata orang-orang mengajak serta anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Para murid yang seharusnya sudah memahami bahwa cinta kasih itu berlaku untuk siapa saja, ternyata malah menghalangi anak-anak untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus menyetarakan keinginan dan ketulusan anak-anak untuk berjumpa dengan-Nya seperti semangat untuk menyambut Kerajaan Allah.

 

Sebagai orang yang dewasa, kita sering membangun tembok pemisah antara kita dengan persahabatan kita. Kita membuat syarat dan ketentuan untuk membangun relasi, atau bahkan juga menyembunyikan banyak rahasia di hadapan orang yang kita kasihi hanya untuk menjaga relasi kita tetap baik-baik saja. Padahal, di dalamnya hancur luar biasa. Maka dari itu, “in a relationship” dalam bagian ini ingin mewartakan bahwa kasih Yesus yang ditampilkan-Nya memberikan teladan kepada kita untuk bersedia merobohkan setiap sekat pemisah. Sekat itu bisa berupa kebencian, kemarahan, dendam, pernah kecewa, pernah sakit hati, takut dilukai, dan lain sebagainya.

 

Jadi, jangan sekat hati dan tindakan jika kita tahu bahwa hari ini kita bisa membangun hubungan yang lebih baik. Walau mungkin kita pernah punya pengalaman tidak menyenangkan, tapi dalam kasih dan kemuliaan Tuhan, kita menemukan kekuatan. Berhenti untuk membuat tembok penyekat itu menjadi lebih tebal, menyimpan dendam, atau malah menebalkan hati kita untuk mereka yang sesungguhnya setulus hati mau menjadi sahabat dalam kehidupan kita. Karena di dalam Tuhan, setiap orang bisa dipakai untuk menghadirkan kebaikan dalam kehidupan kita.

 

Keluarga yang Memperjuangkan Persatuan

Jika kita secara khusus menerapkan dalam keluarga, ingatlah bahwa seumur hidup kita “in a relationship”, bukanlah sebatas status tetapi itu adalah alur kehidupan kita, di mana kita harus selalu membangun relasi yang sehat dengan Tuhan dan dengan keluarga kita: Kita dipersatukan Allah, Kita adalah orang-orang yang Setia, Kita bersedia membuka hati kita untuk kebaikan Tuhan lewat semua anggota keluarga dan orang-orang yang ada di dekat kita. (ra)

Sabtu, 28 September 2024

KARYA YANG TAK TERBATAS

 

(MINGGU BIASA)

Bil. 11 : 4 - 6, 10 - 16, 24 - 29; Mzm. 19 : 7 - 14; Yak. 5 : 13 - 20; Mrk. 9 : 38 - 50 

        

        Setiap orang dalam dunia ini lahir untuk berkarya. Bahkan setiap orang diberi Tuhan kemampuan yang berbeda untuk melakukan karya-karyanya. Ada yang berkarya sebagai dokter, pendeta, guru, teller bank, akuntan, tukang sampah, dan beragam karya lainnya yang dapat dilakukan. Mengapa manusia perlu berkarya? Bukan hanya supaya manusia itu bisa menghasilkan sesuatu atau untuk bertahan hidup, tetapi kita berkarya karena sejatinya Allah kita terus berkarya. Dan karya Allah yang tak terbatas itu diceritakan dalam bacaan hari ini.

        Di kitab Bilangan 11 menceritakan bagaimana bangsa Israel yang telah keluar dari tanah Mesir, sedang melakukan perjalanan ke tanah Kanaan. Dalam perjalanan itu, mereka sempat mengeluh pada Musa karena makanan yang sehari-hari mereka makan hanya manna. Sementara waktu di Mesir mereka dapat makan menu lainnya, yaitu mentimun, semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih (ay. 5). 

        Dalam kondisi makan manna tiap hari, mereka mengeluh, menangis dan mulai merana karena ingin makan menu yang lain, yaitu daging. Namun karena mereka di tengah padang gurun, tentu sangat sulit bagi mereka untuk mendapat menu mewah itu. Andaipun ada tidak bisa memenuhi ratusan orang Israel kala itu. Ketika mereka mengeluh pada Musa, yang Musa lakukan adalah mengeluh pada Tuhan. Sekalipun isi keluhan itu bukan menampakkan keberserahan Musa pada Tuhan, melainkan keraguan atas karya Tuhan (ay. 10 - 15). Padahal sebelumnya, Tuhan sudah menunjukkan karyaNya yang tak terbatas untuk Musa dan bangsa Israel dengan membebaskan mereka dari Mesir. Tetapi keraguan, tekanan, keinginan manusia yang berlebihan seringkali membuat manusia lupa akan karya Allah dalam kehidupan. 

        Di tengah-tengah kondisi itu, yang Allah lakukan adalah mengumpulkan para tua-tua Israel 70 orang dan menaruh Roh Tuhan pada mereka sehingga mereka mengalami kepenuhan seperti nabi (ay. 16, 24 - 25). Untuk apa Tuhan lakukan itu? Beberapa penafsir mengungkapkan supaya Musa yang kala itu panik dan tidak melihat karya Tuhan, dapat ditenangkan Tuhan melalui para nabi yang mengalami kepenuhan. Para nabi yang mengalami kepenuhan ini pun dapat memahami rencana Tuhan dan menenangkan ratusan orang-orang Israel kala itu. 

        Melihat bagian ini, kita dapat belajar bahwa Tuhan juga tetap berkarya untuk Musa dengan memakai para tua Israel untuk memahami rencana Tuhan dan mengerti kondisi Musa sebagai utusan Tuhan yang sedang dihimpit oleh keluhan orang Israel. Karya Tuhan juga tak terbatas karena di perikop selanjutnya Tuhan yang membawa burung-burung puyuh untuk menjadi santapan orang Israel. Ia memenuhi kebutuhan mereka yang ingin makan daging. Sungguh karya yang tak terbatas.  

        Itulah mengapa pemazmur juga dalam Mazmur 19 mengungkapkan keagungan dan pujianNya akan karya Tuhan. Sebab karya Tuhan bukan hanya terbatas pada manusia. Tetapi tak terbatas, sebab langit, bumi dan alam pun dapat menceritakan dan memberitakan karya dan perbuatan Tuhan. 

        Bahkan dalam Injil pun menceritakan, Tuhan pun dapat berkarya bukan hanya pada murid-murid Tuhan. Tetapi juga pada orang lain. Markus 9 menceritakan pengaduan Yohanes kepada Yesus sebab “kami melihat seseorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.” Namun Yesus justru berkata kepada mereka “Jangan kamu cegah dia! sebab, tidak ada seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” 

        Mengapa Yesus membiarkan? Karena Yesus pun mau mengajarkan kepada para muridNya bahwa karya Allah itu tanpa batas. Allah dapat memakai orang asing sekalipun, untuk menjadi berkat Tuhan. Maka Allah mengajak para muridNya untuk senantiasa mempunyai garam dalam dirimu (punya rasa, peka, guna, karya) dan hidup berdamai seorang dengan yang lain (ay. 50b) agar bisa saling berkarya untuk memuliakan Allah. 

Saudaraku, dari bacaan hari ini kita sama-sama mau belajar bahwa: 

  1. Karya Allah itu tak terbatas. Ia dapat berkarya dalam beragam cara entah itu dalam diri kita, melalui orang lain di sekitar kita atau melalui alam ini untuk menunjukkan bahwa Ia tanpa batas.
  2. Sayangnya kita seringkali sukar melihat karya Allah ketika kita dalam keraguan, tekanan atau keinginan yang berlebihan. Karena semua itu membuat dapat membuat kita lupa untuk melihat karya Allah yang telah tersedia. Mari fokuskan diri kita pada karya Allah yang ada, sehingga tak selamanya kita lupa akan karyaNya. Sebab Ia tak pernah lupa untuk berkarya dalam hidup kita. Belajarlah mencukupkan diri kita.
  3. Kita pun dipanggil bukan hanya mengetahui Allah kita terus berkarya. Tapi kita juga dipanggil untuk saling berkarya dengan mempunyai garam dalam diri kita agar kita bisa saling menjadi berkat Allah untuk sesama. 

Tuhan menolong kita semua. Amin (mc)

Rabu, 11 September 2024

Murid yang Sejati

 

Minggu Biasa

Yesaya 50:4-9 | Mazmur 116:1-9 | Yakobus 3:1-12 | Markus 8:27-38

Bacaan Injil Minggu ini berkisah mengenai dua hal yang berkesinambungan. Yang pertama adalah bagaimana Kristus mencoba menanyakan kepada murid-murid-Nya mengenai siapa dirinya, sedangkan yang kedua adalah ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk yang pertama. Apa yang hendak kita renungkan dalam balutan tema “Murid yang Sejati”?

Tentu ada maksud saat Yesus menanyakan pengenalan orang-orang tentang siapa diri-Nya. Awalnya, Yesus menanyakan kepada mereka siapa diri-Nya di mata orang banyak. Jawabannya beragam. Namun, Yesus seakan tidak menggubris itu. Yesus langsung mengubah haluan pertanyaan-Nya, yakni menurut mereka pribadi, bukan orang lain. Mari kita fokuskan pikiran kita bukan pada ragam jawabannya, namun arah pertanyaannya.

Kedua pertanyaan yang Yesus lontarkan mengisyaratkan bahwa Yesus menginginkan adanya pengenalan personal dan mendalam dari para murid. Yesus adalah tokoh populer pada saat itu yang mengakibatkan banyak spekulasi mengenai identitas-Nya. Namun, seakan Yesus mengajak para murid tidak memiliki pengenalan menurut apa kata orang atau berbasis “katanya”. Yesus menginginkan agar mereka mengenali-Nya dengan personal, karena memang demikian semestinya. Sebagai murid yang selalu mengiring Yesus kemana saja, semestinya mereka memiliki gambaran pengenalan akan siapa Yesus yang utuh dan mendalam.

Pengenalan yang mendalam sangat penting bagi murid-murid Kristus, termasuk kita saat ini. Menjadi murid Kristus di era ini juga bukanlah hal mudah. Ketika pondasi teologi tidak mendalam, akan sangat mudah mengalami guncangan ketika menghadapi paham-paham baru. Bila kita ingat isu Kristen Progresif yang terangkat ke permukaan melalui media sosial, beberapa kalangan Kristen panik. Banyak sekali react di Youtube, entah itu murni reaksi sebagai kontra-narasi yang edukatif, atau hanya sekadar latah. Tidak jadi soal, ketika kita melakukan kajian ulang, namun bukankah itu menjadi cerminan bahwa banyak orang Kristen yang luput memahami prinsip-prinsip Kekristenan, sehingga mudah sekali diterpa paham-paham –yang sebenarnya tidak— baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman iman saja masih ada PR besar dalam gereja.

Atau ada hal lain, ketika semakin banyak bertebaran konten-konten di media sosial yang menyajikan debat agama yang saling menjatuhkan. Misalkan ada pihak yang mengolok-olok Kristen dengan cara mencoba mendelegitimasi Alkitab, kita meresponsnya dengan kemarahan. Iya, kemarahan saja, karena tidak bisa menjawab dengan baik secara pemahaman personal. Marah ketika dicemooh, tapi nggak bisa jawab. Kadang juga ada yang membela iman Kristen dengan meyakinkan lantas hati kita berbunga-bunga, padahal belum tentu benar secara prinsip. Ini aneh. Sudjiwo Tejo, sebagai budayawan yang nyentrik itu pernah berkata kira-kira begini, “Bila orang menyalahkan imanmu dan kamu marah, membenarkan imanmu dan kamu bahagia, berarti kamu belum menemukan imanmu yang sejati.”

Yesus menitikberatkan pada pengenalan secara personal kepada dan bersama diri-Nya menjadi sangat penting. Tentu pengenalan pribadi ini bukan hanya dalam aspek kognitif, namun juga empiris. Pengalaman hidup sesehari semestinya bisa dimaknai dengan baik, sehingga pengenalan pribadi ini memiliki kedekatan emosional. Yesus rindu, murid-murid-Nya tidak hanya ikut apa kata orang, namun benar-benar dekat dan memiliki relasi yang hangat dengan-Nya.

Hal demikian semakin tampak tegas dalam penggalan perikop kedua bacaan Injil kita minggu ini. Yesus seakan mengusir Simon dengan Bahasa “enyahlah iblis” (Mrk 8:33). Kalimat ini seringkali membuat Yesus tampak beringas dan galak. Bagaimana tidak, sebagai guru Ia mengusir murid-Nya sendiri. Persis gambaran guru-guru galak zaman VOC. Namun, terjemahan Inggris dalam KJV atau NIV sepakat bahwa kalimat Yesus dituliskan dengan “get behind me”, yang berarti “sini, ke belakangku”. Yesus di sini tidak mengusir, namun mengajak Simon ke belakang-Nya. Ke bekalang Yesus berarti mau mengikuti-Nya, mempelajari cara-Nya berjalan, makan, minum, memperlakukan orang, menyembuhkan, dll. Sang Guru itu mengajak si murid untuk setia berjalan di belakang-Nya. Ada sebuah sikap lembut dan penuh kewibawaan dari Sang Guru. Pertanyaannya, apakah si murid mau berjalan di sana? Di situlah kesejatian murid itu ada. Tema kita adalah “Murid yang Sejati”. Menjadi murid yang sejati ternyata bukan siapa mereka yang selalu mendapat nilai baik, namun mereka yang berlaku setia berjalan di belakang Sang Guru, memiliki sifat yang mau belajar dengan tekun.

Dalam gereja, setiap kita mengikuti ibadah tiap minggu, atau dalam kegiatan-kegiatan lain. Coba tanyakan sikap kita, kita datang sebagai murid atau sebagai apa? Jangan-jangan yang kita anggap murid hanya anak-anak, karena mereka ikut Sekolah Minggu, dan bukan Kebaktian Umum. Alih-alih kita datang sebagai murid yang belajar, namun kita justru datang sebagai orang yang hendak menyaksikan pertunjukan. Musik yang sumbang jadi bahan ghibah, khotbah yang flat ditinggal buka WA dan Tiktokan malah. Betapa menyedihkan!

Tradisi pemuridan di zaman Israel kuno memiliki sebuah kekhasan. Si murid akan datang pagi-pagi buta ke rumah Sang Rabi, duduk di luar menunggu gurunya keluar. Setelah keluar, ia tidak akan banyak bicara. Ia hanya akan mengikuti gurunya kemana ia pergi. Selama seharian penuh ia akan membersamai gurunya. Bila gurunya bercakap dan mengajar, ia akan menyimak dan belajar. Ketika gurunya menolong orang, ia akan ikut serta menolong. Hal ini mirip dengan konsep cantrik atau nyantrik di tanah Jawa. Kepada Kyai atau Sang Guru itu, ia akan mengikuti, bahkan mengabdikan dirinya dalam proses belajar. Kita ikut siapa?

 FTP

Sabtu, 07 September 2024

GEREJA YANG TOLERAN

Minggu Biasa
Yesaya 35:4-7; Mazmur 146; Yakobus 2:1-17; Markus 7:24-37


Belakangan ini kita diramaikan dengan serba-serbi kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Mulai dari berita outfit-nya, transportasi yang digunakan, tempat menginap, para haters yang bermunculan di media sosial, sampai orang-orang yang diberkati secara langsung di tepi jalan. Di tengah-tengah kunjungan apostoliknya, Paus tidak hanya berjumpa dan menyapa umat Katolik, melainkan menyapa ragam kelompok etnik. Ia tidak berkunjung hanya ke katedral, namun juga ke Masjid Istiqlal. Berjumpa dengan para sahabat hingga pejabat dari agama-agama lain. Ia bukan hanya berjabat tangan dengan orang-orang berjas, namun juga memeluk mereka penyandang disabilitas. Kunjungan beliau tidak hanya membawa sukacita bagi umat Katolik saja, namun membawa pesan persaudaraan dan perdamaian bagi bangsa Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus merupakan sebuah upaya meneladani Kristus yang dialogis, yakni kasih yang terbuka kepada semua orang. Dalam Injil Markus 7:24-37, kita diperlihatkan bagaimana Sang Sumber Kasih membagikan kasih yang dialogis itu kepada “orang yang berbeda”. Kisah pertama (ay. 24-30) merupakan perjumpaan antara Yesus dengan perempuan Siro Fenisia. Siapa perempuan ini? Tidak disebutkan siapa namanya. Alkitab hanya mencatat bahwa ia adalah seorang ibu yang berlatar belakang Yunani, yang menghampiri Yesus untuk meminta tolong sebab anaknya kerasukan roh jahat. Permohonan itu direspon oleh Yesus, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay. 27). Terkesan kasar bukan? Namun, jika kita melihat dari sudut pandang budaya kala itu, maka sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang kasar. Memang bagi orang Yahudi anjing merupakan hewan yang najis, namun itu tidak berlaku bagi orang Yunani. Tinggal bersama anjing adalah sesuatu yang wajar. Kemudian, kata anjing yang digunakan pada ayat itu, memakai kata “kunarion” yang artinya anjing piaraan atau anjing yang kecil dan bukan anjing liar. Yesus tahu siapa yang diajak bicara sehingga tidak tepat menyimpulkan bahwa Yesus merespon ibu Siro Fenisia itu dengan kasar. Itu sebabnya si ibu tidak marah, malahan mengatakan, “anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay. 28). Tentu saja ini bukanlah respon “baper”, melainkan bentuk kesadaran dan penerimaan diri. Singkat cerita, Yesus menyuruhnya pergi. Ketika sampai di rumah, sang ibu mendapati anaknya yang tidur dan roh jahat itu telah pergi. 

Kisah kedua merupakan perjumpaan Yesus dengan orang yang tuli juga gagap di dekat Dekapolis (selatan danau Galilea) (ay. 31-37). Tidak jelas apa latar belakang orang ini, namun situasi yang ia alami sebagai seorang yang tuli dan gagap menggambarkan bahwa ia menjadi orang yang terbuang karena dianggap sebagai orang berdosa (bdk. Yoh. 9:1-2). Dalam sistem sosial pada waktu itu, orang ini adalah “kelas bawah”. Kendatipun demikian, Yesus tetap menolong orang itu. Saat hanya tinggal Yesus dan orang itu,  Yesus memasukan jari ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu. Sambil menengadah ke atas, Yesus menarik nafas dan berkata “Efata”: terbukalah. Seketika itu, telinganya terbuka dan terlepas juga pengikat lidahnya sehingga ia bisa berkata-kata dengan baik (ay. 35).

         Perjumpaan yang berbeda, namun punya pesan yang sama, yakni bagaimana Yesus menunjukkan kasih yang dialogis. Kasih yang dipancarkan menembus batas budaya (juga keyakinan) dan batas sosial. Apakah ibu Siro Fenisia atau orang yang tuli itu pada akhirnya mengikut Yesus, kita tidak tahu pasti akhirnya, yang jelas kasih itu dikecap oleh mereka. Sebagai gereja, itulah yang harus kita perjuangkan. Kita menjadi gereja yang toleran dalam artian gereja yang senantiasa membuka ruang dialog yang bermisi sekaligus yang bermisi dengan berdialog. Dengan demikian gereja tidak alergi terhadap kepelbagaian namun juga tak kehilangan identitas. Kepelbagaian bukan ancaman melainkan peluang untuk berpadu dalam keharmonisan. 

Kalau di dalam gereja saja, kita masih meributkan orang lain yang berbeda dengan kita -entah itu pendapat, gaya atau ekspresi imannya-, apa jadinya ketika berjumpa dengan mereka yang di luar gereja, mereka yang berbeda budaya dan keyakinannya? Dalam pidatonya di depan Presiden Jokowi, Paus Fransiskus berkata, “ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka,” Rasanya tak berlebihan juga kalau perkataan Paus ini menjadi perenungan sekaligus peringatan kepada kita sebagai gereja. Selamat menjadi gereja yang toleran. Selamat merayakan kepelbagaian. Tuhan cinta kita semua!


feeg

Jumat, 05 Juli 2024

Keteguhan Seorang Pembawa Pesan

 

Minggu Biasa

Yehezkiel 2:1-5; Mazmur 123; 2 Korintus 12:2-10; Markus 6:1-13

 

Pembawa Pesan

"Pakeeett!", begitulah teriakan seorang kurir paket yang menanti si pembeli di depan rumah. Sayangnya, si pembeli merasa bahwa ia tidak pernah memesan barang tersebut. Kebingungan melanda si kurir, dan hujatan melayang dari mulut si pembeli. Itulah cuplikan video viral pengantar paket yang ditolak dan tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan paket yang dibawanya. Ditambah lagi, jika membuka kolom komentar, kita akan menemukan reaksi akun-akun, entah yang berpihak pada si kurir, atau berpihak kepada si pembeli.

Gambaran tadi hanyalah sebuah potongan kisah seorang pembawa paket. Dalam kehidupan beriman, rupanya kita juga memiliki tugas yang hampir serupa, yaitu membawa pesan Firman Tuhan. Inilah yang menjadi inti persoalan sekaligus solusi yang dapat kita temukan dalam bacaan leksionari pada minggu ini.

 

Soal Keteguhan dan Solusinya!

Keteguhan memang terkadang menjadi persoalan, terutama ketika menghadapi persoalan yang tidak mudah. Akan tetapi, Yehezkiel, pemazmur, Paulus, dan Yesus bersama para murid-Nya minggu ini menunjukkan kepada kita bahwa keteguhan itu adalah modal yang harus dimiliki oleh setiap orang beriman. Sekalipun ada banyak orang yang menganggap bahwa keteguhan adalah persoalan, namun di dalam bacaan kita pada hari ini, keteguhan adalah solusi. Itu berarti, keteguhan sudah menjadi bagian yang serius dalam menjalani dinamika hidup beriman.

 

Menemukan Keteguhan (1): Jadilah Orang yang Tulus!

Arti keteguhan dapat kita jumpai dalam Yehezkiel 2:1-5. Kita diperjumpakan dengan kisah panggilan Tuhan kepada Yehezkiel. Pada masa tersebut, memang belum banyak lagi muncul nabi-nabi sebab bangsa israel berada dalam pembuangan di babel. Tugas Yehezkiel pun bertambah berat karena mereka tidak mau mendengarkan Yehezkiel. Bangsa Israel menjadi bangsa yang keras kepala dan keras hatinya. Mereka belum sadar bahwa sikap seperti itu di masa pembuangan akan membuat mereka mengalami kehancuran yang lebih dalam lagi. Perutusan Yehezkiel memang terjadi di tengah suasana yang tidak kondusif, namun panggilan perutusan itu menjadi tanda positif bahwa Allah tetap mengasihi Israel. Sesulit-sulitnya persoalan yang sedang dihadapi, rupanya kuasa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya.

Dalam Injil Markus 6:1-13, kita disajikan sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya Yesus sendiri mengalami penolakan dalam pelayanan-Nya. Apalagi penolakan itu datangnya bukan dari situasi dan tempat yang jauh, namun datang dari yang paling dekat, yaitu Nazaret, kota kelahiran-Nya. Penolakan ini merupakan wujud keengganan masyarakat dalam mendengarkan Yesus, sehingga mereka tidak mendapatkan ajaran langsung dari Yesus. Akan tetapi, Yesus tetap berusaha melakukan pelayanan-Nya, sekali pun tidak sebanyak di daerah yang lain.

Yesus juga tidak patah semangat. Dia tetap melanjutkan pelayanan-Nya bersama dengan para murid yang diutus-Nya. Para murid diajarkan arti sesungguhnya menjadi seorang murid, yang kala itu harus diuji dalam ketaatan dan keteguhan. Dari sinilah, kita menyadari bahwa keteguhan itu menjadi tanda bahwa para murid menjalankan esensi sesungguhnya dari seorang pembawa pesan, yaitu bersedia diutus.

Dengan semua kenyataan tersebut, pemazmur dan Yesus telah menjadi pribadi yang tulus. Ketulusan merupakan bukti bahwa kita benar-benar teguh dalam menghadapi berbagai persoalan. Ketulusan Yesus membuat-Nya tidak menjadi seorang yang pendendam. Ketulusan Yehezkiel membuatnya tetap setia mengerjakan tugas bagiannya. Ketulusan akan berbuah manis jika kita sungguh-sungguh melakukannya. Karena "orang tulus, kasih-Nya tidak pernah putus".

 

Menemukan Keteguhan (2): Jangan Kalah dengan Keadaan!

Dalam 2 Korintus 12:2-10, kita diajak untuk menggumuli keteguhan yang dimiliki oleh Paulus, ketika ia harus berhadapan dengan jemaat di Korintus. Paulus memberikan pandangan bahwa di dalam dirinya, sekalipun memiliki kelemahan, kuasa Tuhan menjadi sempurna. 

Dalam Mazmur 123, kita menemukan bahwa pemazmur merasa bahwa dirinya membutuhkan pengasihan Tuhan. Dalam kata lain, pemazmur menyadari di tengah kondisi kehidupannya, permohonan terbaik hanya ada di dalam Tuhan. Orang-orang di sekitarnya justru menyerahkan hidup mereka pada kepemilikan atau kesuksesan, sehingga mereka mengolok-olok pemazmur. Namun dalam keteguhannya, pemazmur tetap menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, tidak seperti orang-orang lainnya.

Paulus dan pemazmur, keduanya menunjukkan kepada kita bahwa mereka tidak pernah ingin kalah dengan berbagai tantangan. Itulah kekuatan seorang pembawa pesan, yaitu kekuatan yang muncul dari keinginan untuk meraih kemenangan karena mengerti bahwa tantangan-tantangan tersebut memang harus dihadapi, bukan dihindari. Sekalipun mendapatkan tantangan, akan tetapi tetap mengandalkan Tuhan.

 

Keteguhan Seorang Pembawa Pesan

Kita adalah pribadi yang diajak untuk selalu memiliki keteguhan seorang pembawa pesan untuk menyampaikan tentang kebenaran Firman Tuhan dalam kehidupan kita setiap hari. Sekalipun berjumpa persoalan, tapi kita juga harus selalu mampu menemukan keteguhan yang menguatkan kita: jadilah orang yang tulus, dan jangan kalah dengan keadaan!

Sabtu, 08 Juni 2024

DOSA YANG TIDAK DAPAT DIAMPUNI

Minggu Biasa

 Kejadian 3:8-15; Mazmur 130; 2 Korintus 4:13-5:1; Markus 3:20-35


Kebencian yang meletup-letup terhadap orang lain mampu membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan yang di luar nalar. Saat seseorang  membenci orang lain, ia akan mencari cara untuk menjatuhkan orang tersebut bagaimanapun caranya. Misalnya, di masa kini, seseorang dapat memanfaatkan media sosial untuk menjatuhkan “lawannya”. Instrumen yang seharusnya menolong manusia keluar dari cangkang ketidaktahuan menuju pada kemudahan akses informasi, nyatanya bisa dipakai untuk mencederai kehidupan bersama. Melaluinya ujaran kebencian dan berita hoaks mampu beredar dengan bebas sehingga bisa mengubah paradigma seseorang bahkan massa yang lebih banyak untuk mempercayai sesuatu yang tidak benar.

Meski di zaman Yesus dunia digital belum eksis, namun sikap kebencian sudah menunjukkan wajahnya melalui Ahli-ahli Taurat. Dalam Markus 3:20-30, kita bisa  menyaksikan bagaimana Ahli-ahli Taurat itu datang dan menyebut Yesus kerasukan Be’elzebul (Pemimpin Setan) dan menggunakan kuasa itu untuk mengusir setan. Nampaknya mereka begitu kuatir pamor mereka merosot dengan kehadiran dan pelayanan yang Yesus lakukan sampai-sampai melontarkan tuduhan yang tak berdasar. Yesus merespon tuduhan itu dengan menunjukkan sebuah argumen bahwa tidak mungkin iblis mengusir iblis. Jika iblis melawan dirinya sendiri, maka tentulah ia akan berakhir dengan sendirinya. Lebih dari itu, Yesus melontarkan sebuah pernyataan yang tajam sekaligus kontroversial, “siapa saja yang menghujat Roh Kudus tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa yang kekal” (Mrk. 3:29). Apakah maksudnya menghujat Roh Kudus? Bukankah Yesus itu Sang Kasih yang selalu memberikan pengampunan? Lalu apakah memang ada dosa kekal?

Ahli-ahli Taurat sudah sangat jelas melihat karya-karya Allah di dalam Yesus, namun mereka menutup hati terhadap karya-karya Allah di dalam diri Yesus. Padahal mereka adalah seorang “ahli” yang mendalami tentang karya-karya Allah di dalam Taurat. Mereka sadar bahwa apa yang dilakukan Yesus merupakan karya Allah dalam kuasa Roh Kudus yang nyata, namun tetap menolak untuk mengakuinya. Sikap Ahli-ahli Taurat inilah yang merupakan bentuk penghujatan kepada Roh Kudus. 

Tentu saja tidak ada dosa yang tak bisa diampuni oleh Allah. Saat manusia pertama Adam dan istrinya, Hawa jatuh dalam dosa karena ingin berpengertian seperti Allah, berita tentang pengampunan sudah mulai digaungkan meski nampak samar. Hal itu nampak dalam percakapan Allah dengan ular, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej. 3:15). Ayat ini mengandung janji pertama tentang kedatangan Sang Penebus yang akan mengalahkan setan (Bdk. Why. 12:1-12, 14:1; 22:12,6). Janji itu mulai mewujudnyata melalui karya keselamatan yang dikerjakan oleh Kristus melalui kematian, kebangkitan juga kenaikan-Nya. 

Pengampunan sudah direncanakan sejak awal dan pada akhirnya pengampunan itu selalu tersedia kepada semua orang yang tidak mengeraskan hati dan menolak anugerah-Nya. Alih-alih membuka hati dan menerima anugerah itu, Ahli-ahli Taurat justru menolakanya. Jadi tak mendapatkan ampun, bukan karena Sang Pencipta itu kejam, melainkan karena ciptaan yang secara sengaja menolak untuk diampuni. Dengan demikian ungkapan “dosa yang kekal” harus dipahami sebagai situasi di mana seseorang yang terus-menerus menolak cinta kasih yang telah dianugerahkan oleh Allah melalui Yesus dalam kuasa Roh Kudus sehingga hidupnya mengalami kesukaran yang berkepanjangan.

Kini kita diajak untuk tidak mengeraskan diri juga hati terhadap Rahmat yang Allah telah anugerahkan melalui Yesus dalam kuasa Roh Kudus. Bukankah sejak semula kita terus menerus merasakan rahmat itu, sampai sekarang bahkan seterusnya. Sadarilah, rasakan, dan bagikan lah cinta kasih Allah itu pada sesama dan semesta. Selamat meresponi rahmat Allah! 

feeg


Jumat, 24 Mei 2024

ALLAH YANG MENYATAKAN DIRI

 Yesaya 6:1-8; Mazmur 29; Roma 8:12-17; Yohanes 3:1-17

 

Trinitas memang tidak mudah dipahami saat kita “hanya” mendengar presentasi atau membaca karya tulis. Namun, ada satu hal utama yang membantu umat mengenal dan memahami Allah Trinitas. Yakni, saat umat menyadari bahwa Allah adalah Ia yang senantiasa mau memperkenalkan diri secara nyata kepada ciptaan-Nya. Oleh sebab itu tema kita hari ini “Allah yang menyatakan Diri.” Mari kita telusuri bacaan hari ini untuk melihat secara nyata.

Pertama, lihat saja pengalaman Yesaya dalam Yesaya 6:1. Yesaya menyatakan bahwa “…aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, bagian bawah jubag-Nya memenuhi Bait Suci.” Ini merupakan penggambaran kekuasaan dan kekudusan Tuhan yang tak terhampiri manusia. Akan tetapi, Ia yang mahakudus itu berinisiatif menunjukkan diri-Nya. Selanjutnya bahkan kita mendapati bahwa Allah bukan hanya menunjukkan diri. Allah kemudian bertindak menyentuhkan bara api pada lidah Yesaya untuk menguduskannya. Tindakan Allah tersebut membuat Yesaya dapat merespons secara nyata Allah yang menyatakan diri, yakni dengan jalan siap untuk diutus.

Kedua, lihatlah pengalaman Nikodemus dalam bacaan Injil hari ini. Nikodemus yang datang dalam gelapnya malam berjumpa dengan Allah yang menyatakan diri secara terang dalam diri Yesus Kristus. Nikodemus pun mengawali pembicaraan dengan menyampaikan hal-hal nyata yang telah dilakukan oleh Yesus sebelumnya. Hal-hal nyata itu yang mengantar Nikodemus pada pengakuan bahwa Yesus adalah utusan Allah (Yoh. 3:2). Kesemuanya itu barulah pengantar dari keseluruhan penyataan diri Yesus pada Nikodemus. Selanjutnya, kita mendapati bahwa Yesus menjelaskan pada Nikodemus bahwa seorang yang ingin melihat Kerajaan Allah harus lahir kembali.

*Lahir kembali di sini dapat dimengerti sebagai proses membarui diri dari atas hingga seluruh pikiran dan perbuatan kita dirajai oleh Allah. Proses kelahiran macam ini bukan terjadi pada suatu hari namun setiap hari. Tiap hari kita berkomitmen uang untuk menjalani hidup yang sejati. (Baca “Pentakosta: Wawancara TV Nikodemus” dalam Selamat Bercinta, Andar Ismail).

Dari sini kita melihat penegasan bahwa kelahiran kembali itu dapat dikerjakan oleh manusia sebab Allah lebih dulu berinisiatif menyatakan kasih-Nya yang besar kepada dunia. Melalui kehadiran Yesus Kristus secara nyata maka dunia pun dapat secara nyata merasakan karya penyelamatan Allah. Bahkan bila kita melanjutkan pembacaan sampai di ayat 21, maka kita menemukan setiap pribadi yang “lahir kembali” akan melakukan yang benar dan sedanhg ada dalam gerakan mengarahkan langkah mendekat kepada Kristus – Sang Anak Allah dan Sang Terang Dunia.

Ketiga, dalam bahasa Rasul Paulus, seorang yang hidup dalam Kristus disebut hidup dalam Roh (Roma 8:9). Seorang yang hidup dalam Roh disebut mampu tidak lagi hidup menuruti keinginan nafsu duniawi, melainkan tunduk kepada pimpinan Roh. "Sebab, jika kamu hidup menurut keinginan daging, kamu akan mati. Namun, jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup." (Roma 8:13) Hal ini kembali membuktikan Allah yang berinisiatif lebih dulu sehingga manusia punya kemampuan hidup seturut kehendak Allah. Pimpinan Roh Allah yang membuat seseorang merasakan keindahan hidup dalam kasih Allah Trinitas sehingga mau mematikan keinginan dagingnya.

 

Melalui ketiga bacaan hari ini, kita sungguh diperlihatkan cara kreatif Allah Trinitas menyatakan diri dan kasih-Nya kepada dunia yang dicintai-Nya. Doktrin Trinitas yang hadir kemudian sejatinya merupakan pengajaran yang mencoba memberi gambaran pada umat Tuhan tentang Dia yang selalu menyatakan diri dan kasih-Nya kepada dunia agar dunia dapat mengalami keselamatan. Mestinya, bahasa dan cara Allah Trinitas menyatakan diri ini dapat ditangkap oleh manusia. Karena sekalipun manusia memiliki beragam cara dan bahasa, bukankah ada satu bahasa yang bisa dipahami semua, tak lain adalah bahasa kasih. Manusia yang mengalami karya kasih Allah, dialah yang dapat merasakan Kerajaan Allah. Sebagai penerima kasih Allah seorang senantiasa merasakan syukur yang melimpah. Rasa syukur itu kemudian dinyatakan dengan mau terlibat menyatakan cinta kasih Allah ini kepada sesamanya melalui pengampunan, perhatian, dan perjuangan untuk memelihara damai sejahtera serta keadilan di tengah keseharian.

 

Bila Allah Trinitas telah terus menerus menyatakan diri-Nya, siapkah kita dipimpin oleh-Nya menyatakan Allah pada dunia?

 

ypp

Jumat, 17 Mei 2024

BERKATA-KATA DALAM PIMPINAN ROH

Minggu Pentakosta

Kisah Para Rasul 2:1-21 | Mazmur 104:24-35 | Roma 8:22-27 | Yohanes 15:26-27; 16:4-15 


Pentakosta berasal dari kata pentekoste dalam Bahasa Yunani yang berarti hari “kelimapuluh”. Dalam tradisi Yahudi, Pentakosta  disebut dengan nama Shavuot dalam Bahasa Ibrani, yang secara harfiah berarti “minggu-minggu”. Pada hari Paskah, umat membawa hasil panen mereka yang pertama. Tujuh pekan kemudian, sehari setelah Hari Sabat yang ketujuh, yakni hari yang kelimapuluh, mereka membawa kurban sajian kepada Tuhan, sebagai puncak perayaan panen (Im. 23:15-16). Pada masa Perjanjian Baru, saat perayaan Pentakosta, orang-orang Yahudi dari segala penjuru datang ke Yerusalem, pusat perayaan umat Yahudi. Murid-murid Yesus juga berkumpul di Yerusalem untuk merayakan Pentakosta (Kis. 2:1). Saat mereka berkumpul, para murid menerima pencurahan Roh Kudus. Karena itulah, dalam tradisi Kristen, hari Pentakosta kita rayakan sebagai hari pencurahan Roh Kudus.

Memang tidak tepat jika kita katakan bahwa Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta, karena Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri yang telah ada sejak kekal. Yang lebih tepat adalah pada perayaan Pentakosta, Roh Kudus menyatakan kuasa-Nya melalui para rasul, sehingga banyak orang menjadi percaya. Orang-orang Yahudi yang merayakan Pentakosta di Yerusalem adalah orang-orang yang tersebar di berbagai wilayah di luar Yerusalem, bahkan Yudea. Pada saat ramai seperti itulah Roh Kudus menyatakan kuasa-Nya melalui para rasul sehingga mereka dapat berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain dan dimengerti oleh semua orang yang hadir di sana, yakni orang-orang dari berbagai penjuru (Kis. 2:8-11). 

Terkait dengan berbagai bahasa ini ada dua tafsiran yang berkembang. Tafsiran pertama yang lebih banyak dikenal adalah tentang kryptolalia dan xenolalia. Kryptolalia berasal dari kata kryptos yang berarti "rahasia" atau "tersembunyi". Ini adalah bahasa lidah atau bahasa roh yang tidak dipahami oleh orang-orang, sehingga dibutuhkan penafsir atau penerjemah untuk bahasa itu. Kryptolalia sering dikaitkan dengan teks 1 Korintus 12 dan 14. Sementara itu, teks Kisah Para Rasul 2 lebih sering dikaitkan dengan xenolalia, yang berasal dari kata xenos yang berarti asing. Xenolalia adalah bahasa manusia atau bahasa yang digunakan dan dikenal oleh manusia. Bahasa ini asing bagi penutur, tetapi dapat dipahami oleh pendengar. Contohnya, seorang Sunda berbicara dalam bahasa Batak yang tidak dipahaminya, tetapi dipahami oleh orang Batak yang mendengarnya.  Dalam konteks Pentakosta, ketika orang-orang Yahudi  dari berbagai tempat dan wilayah datang ke Yerusalem, Roh Kudus menyatakan kuasa-Nya, memimpin para rasul untuk berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain yang digunakan oleh orang-orang banyak dabri berbagai bangsa itu, padahal para rasul tidak pernah mempelajari berbagai bahasa. Saat kuasa Roh Kudus turun, para rasul ini diberikan karunia untuk berkata-kata dalam xenolalia. Roh Kudus memampukan para rasul untuk dapat bersaksi tentang Yesus Kristus, melalui karunia berkata-kata.

Tafsiran kedua, yang lebih jarang dikenal, adalah soal diglossia. Dalam dunia lingustik, diglossia adalah kondisi ketika ada dua bahasa yang digunakan masyarakat dalam situasi yang berbeda. Biasanya yang satu disebut bahasa tinggi dan yang lain disebut bahasa rendah. Misalnya, seorang Bali menggunakan bahasa Indonesia untuk situasi formal dan menggunakan bahasa Bali untuk percakapan sehari-hari dengan teman dan keluarga. Dalam masyarakat Yahudi Palestina pada masa itu, ada dua – bahkan tiga – bahasa yang dikenal dan dipakai. Yang pertama adalah Bahasa Ibrani sebagai bahasa tinggi. Setelah pembuangan, bahasa Ibrani tidak lagi dipakai dalam percakapan sehari-hari, tetapi dipakai sebagai bahasa liturgis, bahasa kudus. Bahasa yang lain adalah bahasa rendah, yakni bahasa yang digunakan sehari-hari oleh orang-orang Yahudi perantauan di tempat asal mereka. Jika kita melihat nama-nama tempat yang disebutkan (Kis. 2:9-10), kita menemukan ada dua kelompok besar wilayah di situ. Yang pertama adalah wilayah sebelah timur Palestina, yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Asyur dan Babel yang berbahasa Aram. Kelompok yang kedua adalah wilayah sebelah barat Palestina yang merupakan kekuasaan Kekaisaran Romawi yang menggunakan bahasa Yunani dalam percakapan sehari-hari. Para rasul sendiri adalah orang-orang Galilea yang sehari-harinya berbahasa Aram. Namun, karena orang Galilea sangat terbuka dengan kebudayaan Yunani-Romawi, bukan tidak mungkin mereka juga berbahasa Yunani dalam percakapan. Dengan demikian, ada dua bahasa yang dikenal dan digunakan para rasul, yakni bahasa Aram dan bahasa Yunani. Dengan demikian, “bahasa-bahasa lain” yang dimaksud adalah bahasa-bahasa yang digunakan sehari-hari, baik oleh para rasul maupun oleh orang-orang Yahudi perantauan. Di sini, Roh Kudus memampukan para rasul untuk berkata-kata dalam bahasa mereka sehari-hari.

Dari kedua tafsiran ini, meskipun berbeda, yang menjadi fokus adalah Roh Kudus menyatakan kuasa-Nya bagi para murid untuk bersaksi melalui kata-kata. Namun, kuasa Roh Kudus sebenarnya tidak berhenti hanya pada kata-kata. Ketikan Yesus menjanjikan Sang Penolong kepada murid-murid-Nya, ia berkata bahwa Roh Kebenaran itu akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman. Roh Kudus bekerja sehingga duni ini insaf akan dosa, serta mengakui dan mencari kebenaran. Bahkan, pemazmur pun mengatakan, "Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi." Karya Roh Kudus bahkan jauh melampuaui kata-kata, yakni pembaruan semesta. Dan inilah panggilan orang percaya yang dipimpin oleh Roh Kudus, yakni berkarya menyatakan kebenaran, pengampunan dan pertobatan, serta pembaruan dunia ini melalui perkataan dan perbuatan. Roh Kudus juga memberi kuasa untuk berkata-kata dalam bahasa sehari-hari, artinya juga dalam keseharian melalui bahasa yang dikenal lingkungan kita; melalui sapaan hangat, senyum ramah, perhatian dan kepedulian; melalui tindakan-tindakan anti-diskriminasi dalam keluarga dan mesyarakat; melalui teladan untuk melestarikan lingkungan dan berbagi hidup dengan semesta. Inilah panggilan gereja sebagai persekutuan yang dipelihara dan digerakkan oleh Roh Kudus, yakni menjadi saksi cinta dan rahmat Allah bagi semesta. (ThN)

Sabtu, 11 Mei 2024

DIPELIHARA DALAM KEBENARAN

Minggu Paskah VII

Kisah Para Rasul 1:15-17, 21-26; Mazmur 1; 1 Yohanes 5:9-13; Yohanes 17:6-19

Mengapa Ada Orang yang Bisa Hidup Benar?

Alasan pertama dari pertanyaan ini adalah karena dia adalah sosok yang berani. Dia berani menyampaikan aspirasinya. Dia berani bersikap. Dia berani berpendapat. Alasan kedua adalah karena punya pendirian yang kuat. Orang-orang seperti ini sangat teguh dan tidak mudah digoyahkan prinsip-prinsip hidupnya. Alasan ketiga adalah karena mereka yang bisa hidup benar adalah orang-orang yang tahu diri bahwa kebenaran yang sudah dihadirkan oleh Allah yang menyelamatkan hidupnya.

 

Mengapa Ada Orang yang Tidak Bisa Hidup Benar?

Namun, kita harus berjumpa dengan realita bahwa tidak semua orang mampu hidup dalam kebenaran. Mengapa demikian? Sederhananya, kita tinggal tambahkan saja kata "tidak" pada semua alasan di atas. Pertama, karena mereka tidak berani menyatakan kebenaran. Sikap, tindakan, atau responsnya terhadap persoalan tidak menunjukkan bahwa ia mampu menunjukkan kebenaran dalam hidupnya. Kedua, karena tidak punya pendirian yang teguh. Keputusan yang harus diambil sangat dipengaruhi oleh keuntungan, manfaat, atau bahkan ancaman masa depan yang bisa terjadi. Orang dengan alasan seperti ini biasanya cenderung plin-plan dalam menentukan kebenaran. Ketiga, karena tidak tahu diri. Sekali pun dosanya sudah ditebus dan Allah sudah mengaruniakan kasih-Nya, tetap saja semua kesempatan yang ada tidak dipakai untuk memberitakan kebenaran.

 

Dipelihara dalam Kebenaran

Kisah Para Rasul melalui proses pemilihan murid, kebenaran itu diperlihatkan dengan melibatkan doa dalam proses mempertimbangkan nama yang akan menjadi pengganti Yudas.

 

Dalam Surat Yohanes yang pertama, para pembaca diajarkan tentang cara konsep mengasihi Yesus Kristus dan muatan akan kemampuan untuk menyatakan kebenaran agar semua orang menjadi percaya.

 

Dalam Mazmur, kita diperlihatkan orang yang menjalani hidupnya dalam kebenaran, yaitu takut akan Tuhan pasti akan selalu mengarahkan hidupnya hanya kepada Tuhan.

 

Pesan ini juga diperkuat oleh doa yang Yesus sampaikan kepada Allah Bapa tentang para murid-Nya. Melalui bacaan Leksionari kali ini, kita sungguh-sungguh diperhadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa kebenaran bukan hanya sekadar identitas hidup orang percaya namun juga harus diwujudkan dalam tindakan yang nyata.

 

Jadi, pada dasarnya kita sudah dipelihara dalam kebenaran. Maka dari itu, kita pun perlu belajar memelihara kebenaran itu dalam keseharian kita. Bagaimana caranya?

 

Doa (Yoh. 17:6-8, Kis. 1:15-17, 21-26)

Cara pertama, melalui doa. Yesus yang berdoa bagi para murid-Nya menunjukkan eratnya hubungan antara Yesus dengan Allah Bapa yang tidak terpisahkan. Hubungan ini juga akan terjadi bagi para murid-Nya, yang terus percaya kepada-Nya. Melalui doa, hubungan itu akan terus terjalin dengan erat dan semakin menyadari bahwa kita adalah milik-Nya dan bersedia mengikut Firman-Nya.

 

Sayangnya, kita sebagai murid-Nya di masa kini sering sekali mengabaikan kebiasaan kita dalam berdoa. Kita berdoa kalau ada perlunya, kita berdoa kalau sedang ada masalah, bahkan kita serius berdoa ketika permohonan kita ingin segera dijawab oleh Tuhan.

 

Salah satu pesan yang muncul dalam Kisah Para Rasul adalah ketika para murid berdoa di tengah situasi yang baik-baik saja. Mereka berdoa untuk memilih yang benar di antara yang benar, di mana situasi seperti ini bagi kebanyakan orang, tidaklah perlu untuk berdoa. Mereka berdoa bukan hanya untuk memilih yang benar, tetapi mereka berdoa karena memahami ada gambaran yang lebih besar dalam karya Allah.

 

Jadi, bagi kita yang ingin memelihara kebenaran, doa akan selalu menjadi aksi utama yang kita lakukan dalam menghadapi pergumulan kehidupan.

 

Allah Menjaga (Yoh. 17:9-12, Mzm. 1)

Cara kedua, merasakan Allah yang menjaga kehidupan kita. Satu kata yang diulang berkali-kali dalam doa Yesus adalah kata "jaga", yang sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa Yesus sungguh-sungguh memohon agar kehidupan setiap murid-Nya dijaga oleh Allah sebab itulah juga yang sudah dilakukan-Nya terhadap para murid-Nya.

 

Hal ini memberi peluang bagi kita untuk kembali merasakan bahwa karya keselamatan-Nya terjadi dalam hidup kita karena Allah bersedia untuk menjaga. Titik pengenalan yang baik dicontohkan oleh pemazmur, ketika ia mampu mengenali Allah yang menjaganya di tengah kehidupan.

 

Melalui bagian ini, kita juga disadarkan betapa nekatnya kita sebagai manusia dalam menjalani kehidupan kita setiap hari. Salah satu kelemahan kita adalah ketika kita semakin tidak sadar bahwa Allah sudah dan akan selalu menjaga kita, bahkan Yesus mendoakan agar kita dijaga sebab kita adalah milik-Nya.

 

Mulai saat ini, marilah kita mulai belajar untuk menjadi pribadi yang tenang, yakin, dan percaya, bahwa Allah sudah dan akan selalu menjaga kehidupan kita.

 

Jangan Kembali kepada yang Jahat! (Yoh. 17:13-19, 1Yoh. 5:9-13)

Bagian tersebut, juga diperkuat oleh cara yang ketiga, yaitu berupaya untuk tidak kembali kepada yang jahat. Yesus berdoa karena Yesus menyadair bahwa ada tantnagan dari dunia yang akan dihadapi oleh para murid-Nya. Tantangan itu muncul karena dunia tidak selalu suka dengan kebenaran. Yesus pun tidak meminta agar para murid-Nya diambil dari dunia, tetapi dijaga dari yang jahat.

 

Yesus sudah membekali kita dengan sukacita-Nya, dengan Firman-Nya, dan dengan perutusan-Nya. Sekarang, waktunya kita untuk belajar tidak kembali kepada yang jahat. Namanya manusia pasti selalu ada kelemahannya, kekurangannya, godaannya, atau cobaannya. Namun, bukan berarti itu menjadi alasan untuk merusak karya kasih yang sudah dikerjakan-Nya di tengah kehidupan kita.

 

Kita berkomitmen untuk memperbaiki diri satu per satu kelemahan kita masing-masing. Kita setia menjalaninya dalam proses yang mungkin tidak akan selalu mudah. Kita belajar untuk menjadi pribadi yang tegas dan tidak mengalah pada pertimbangan-pertimbangan yang hanya sekadar sebuah keuntungan jasmani tetapi merugikan pertumbuhan rohani.

 

Belajarlah perlahan-lahan untuk memperbaiki diri! Jadikan sukacita-Nya, Firman-Nya, dan karya perutusan-Nya sebagai kekuatan kita.

 

Dipelihara, tapi juga Ingin Memelihara

Saat ini kita sadar kita sudah dipelihara dalam kebenaran. Maka dari itu, kita pun perlu belajar memelihara kebenaran. Karena dari situlah kita mendapatkan kekuatan. Teruslah berdoa, merasakan Allah yang manjaga, dan tidak kembali kepada yang jahat!

Kamis, 02 Mei 2024

APIK (ANTI PILIH KASIH)


(Minggu Paskah VI) 

Kisah Para Rasul 10 : 44 - 48; Mazmur 98; 1 Yohanes 5 : 1 - 6; Yohanes 15 : 9 - 17 


Gandhi pernah berkata “Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tetapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda (I like your Christ. I don’t like your Christians).” 


Gandhi mempunyai pandangan itu karena pengalamannya waktu ia bekerja sebagai seorang pengacara di Afrika Selatan yang menjalani sistem apartheid pada waktu itu. Sebagai seorang anak muda, Gandhi sangat tertarik dengan Kekristenan dan ia mempelajari Alkitab dan ajaran-ajaran Kristus. Dia serius mempertimbangkan untuk menjadi seorang Kristen dan mencari sebuah gereja untuk dikunjungi yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Di pagi minggu saat ia mau melangkah masuk ke gereja, seorang penerima tamu menghalang langkahnya. “Mau ke mana kamu orang kafir?” tanya seorang pria berkulit putih padanya dengan nada yang angkuh. Gandhi menjawab, “Saya ingin mengikuti ibadah di sini.” Orang gereja itu membentaknya dengan berkata, “Tidak ada ruang untuk orang kafir di gereja ini. Enyahlah dari sini atau saya akan meminta orang untuk melemparkan kamu keluar!”

Suatu tindakan pilih kasih dari seorang yang seharusnya mewakili Kristus menghentikan langkah seorang Gandhi untuk mempertimbangkan Kekristenan bagi dirinya. Bahkan Gandhi juga pernah mengatakan “Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini.

Saudara, tindakan pilih kasih bukanlah sebuah tindakan sepele. Karena tindakan ini sangat berakibat fatal. Oleh karena itu, melalui bacaan hari ini kita kembali mau diingatkan betapa pentingnya tindakan APIK (Anti Pilih Kasih). 

Dalam bacaan pertama dari Kisah Para Rasul 10 : 44 - 48 berkisah tentang perkunjungan yang dilakukan oleh salah 1 murid Yesus bernama Petrus (seorang Yahudi) ke rumah Kornelius di Kaisarea. Untuk kita ketahui Kornelius ini bukan seorang Yahudi. Ia seorang perwira dari Batalion yang disebut Batalion Italia (Kis. 10 : 1). Hal ini menjelaskan dari mana Kornelius berasal, yaitu kemungkinan besar ia adalah seorang Romawi. 


Perkunjungan yang terjadi ini di mata kita pasti bukan sebuah masalah. Namun tidak demikian dengan pandangan orang Yahudi pada masa itu. Karena di ay. 28 Petrus sempat menjelaskan bahwa “betapa kerasnya larangan bagi orang Yahudi untuk bergaul dan berkunjung kepada orang-orang yang bukan Yahudi.” Mengapa? Karena pada masa itu orang Yahudi menganggap orang-orang non-Yahudi sebagai kaum najis. Sehingga haram atau pamali jika orang Yahudi berkunjung, bergaul apalagi berbicara dengan non-Yahudi karena akan dianggap najis juga. 


Namun demikian, Petrus merefleksikan bahwa perkunjungan yang dilakukan olehnya karena kehendak Allah itu kepada Kornelius yang adalah non-Yahudi sebagai momentum bagi Petrus untuk menyadari bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya (bc. Kis. 10 : 34 - 35). 


Hal ini dipertegas Allah dalam bacaan kita. Ketika Petrus sedang menyampaikan pengajaran (khotbah), Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga. Sehingga mereka dapat berkata-kata dalam bahasa lidah yang tentu saja dapat dipahami oleh orang-orang dari golongan Petrus yang menyertai Petrus kala itu. Karena perkataan yang diucapkan berisi kemuliaan bagi Allah (ay. 46).


Di bagian ini kita melihat bahwa manusia seringkali bertindak pilih kasih kepada orang lain yang berbeda dengannya. Namun Allah tidak pilih kasih. Sebab orang lain dan bangsa lain pun berkenan bagi Allah. Sikap Allah yang tidak pilih kasih ini bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk terus dihidupi dalam kehidupan orang percaya. 


Hal ini ditegaskan dalam Surat Yohanes yang pertama pasal 5 : 1 - 3 bahwa orang percaya bukan hanya sebatas percaya pada tindakan Allah tetapi juga mengasihi Allah serta melakukan perintahNya. Pertanyaannya, apakah perintah Allah untuk dilakukan sebagai bentuk kasih kita kepada Allah? 


Untuk mengetahui perintah Allah, kita perlu merujuk pada apa yang Yesus sampaikan dalam Injil Yohanes 15 : 9 - 17. Di mana Yesus memberi perintah: hendaklah kamu saling mengasihi. Kata saling dalam bacaan berarti ada tindakan yang sama-sama dan terus dilakukan. Bukan hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu ke orang-orang tertentu tetapi kepada semua orang. 


Mengapa Yesus mengingatkan untuk perlu saling mengasihi? bukan pilih kasih!

  1. Karena setiap orang dikasihi oleh Allah (bdk. Mat. 5 : 45b Ia menerbitkan matahariNya bagi orang yang jahat maupun orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun orang yang tidak benar) 

  2. Setiap orang yang dikasihi Allah juga diajak untuk saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu (ay. 12 & 17). Dasar kita tidak pilih kasih dan terus melakukan kasih adalah Allah, dan Allah juga menghendaki kita mengasihi sesama seperti yang Allah lakukan untuk kita, yakni terus dan tanpa batas.


  1. Bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu. Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap (ay. 16). Di bagian ini kita melihat bahwa kita adalah orang-orang yang dipilih Allah untuk terus mengasihi sesama. Sulit dan sakit itu pasti. Namun kita adalah orang-orang yang dikasihi Allah untuk mengasihi sesama. Dan kiranya mengasihi sesama menjadi buah yang terus kita hasilkan dalam kehidupan karena kasih Tuhan yang kita terima dapat dinikmati sesama. 


Selamat mengasihi. Tuhan mengasihi kita semua. Amin. (mc)


Sumber: https://ericbryant.org/2019/12/01/hope-for-the-nations-gandhi-love-your-enemies/