Sabtu, 22 Februari 2025

LEBIH DARI YANG BIASA

 Kej. 45 : 3 - 11, 15; Mzm. 37 : 1 - 11, 39 - 40; 1 Kor. 15 : 35 - 50; Luk 6 : 27 - 38

 

Saudara, kita semua adalah orang-orang yang terluka. Dan hari ini kita mau belajar seseorang yang juga pernah terluka bernama Yusuf. Kej. 45 berkisah tentang pertemuan Yusuf dan saudara-saudaranya setelah sekian tahun tidak berjumpa. Kita tahu Yusuf punya masa lalu yang sangat pahit dengan saudara-saudaranya yang dengan tega melukai, dan menjualnya.

Tapi melalui bacaan hari ini, kita menyaksikan bahwa Yusuf yang kala itu sudah menjadi (ay. 8) bapa bagi Firaun, tuan atas seluruh istananya serta pemegang kuasa atas seluruh tanah Mesir berjumpa kembali dengan orang-orang yang melukainya.

Sebagai manusia yang terluka, kita tahu bahwa Yusuf punya pilihan untuk balas dendam. Ia  punya kesempatan untuk membuang saudara-saudaranya, supaya mereka tahu bagaimana rasanya sebagai Yusuf yang hancur dan sakit hati atas peristiwa yang pernah ia alami dari mereka. Tapi saudaraku, sekalipun ada pilihan untuk balas dendam itu terbuka begitu lebar dan Yusuf sangat bisa memilih jalan itu. Namun, Yusuf justru memilih jalan yang lain.

Bacaan mengungkapkan bahwa:

  1. Yusuf memilih untuk memperkenalkan diri pada saudaranya - pada  orang yang sangat melukainya.  (ay. 3) Ia berkata “Aku ini Yusuf.” Yusuf masih ingat saudara-saudaranya dan mulai dulu memperkenalkan diri kepada mereka. Padahal bisa saja dia diam-diam dari mereka.
  2. (ay. 4) Yusuf juga berkata “Mendekatlah kepadaku.” Padahal ada opsi ia membuang dan mengabaikan mereka.
  3. Yusuf tidak tanggung-tanggung tindakannya. (ay. 10 - 11) Dia akan mengajak keluarganya pindah dan tinggal di tanah Gosyen untuk dekat dengannya dan di sana “aku akan memelihara engkau, katanya”.
  4. (15) Yusuf mencium semua saudaranya dan menangis pada bahu mereka. Dan tangisan ini sebagai luapan ampunan bercampur senang dari dalam diri Yusuf kepada saudara-saudaranya.

Mengetahui apa yang Yusuf lakukan, sangat mungkin kita bilang, Yusuf nda salahkah? Ubur-ubur ikan lele. Itu salah besar leee.Dilukai itu harusnya balas bukan balik!

Saudara, mungkin isi pikiran kita yang maunya Yusuf mengikuti skenario yang ada di kepala kita. Tapi justru Yusuf memilih jalan yang lain. Kenapa?

  1. Yusuf tidak mau menjadi biasa. Ia yang memilih dan memutuskan untuk menjadi lebih dari yang biasa. Iya move on dengan cara yang berkelas. Bukan mata ganti mata, gigi ganti gigi. Karena nanti tidak akan usai, malah makin nda selesai.

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India mengatakan, “Jika manusia menggunakan filosofi mata ganti mata, gigi ganti gigi. Maka dunia akan dipenuhi dengan orang-orang yang buta dan ompong.” Karena akhirnya, akan terus saling melukai, saling menyakiti dan makin jauhlah relasi.

Pemazmur juga berkata, jangan marah karena orang yang berbuat jahat. Jangan iri pada orang yang berbuat curang. Mereka segera lisut bagaikan rumput dan layu seperti tumbuhan hijau. Artinya, mereka nda punya daya lama. Akan ciut. Tidak bertahan lama. Santai. Woles. Nda usah jadi biasa. nanti akan jadi lisut dan layu.

  1. Karena Yusuf berefleksi (Kej. 45 : 5, 7 - 8) bahwa kondisi masa lalunya, awalnya mungkin terlihat sebagai batu sandungan yang membuatnya jatuh dan merana. Tapi sesungguhnya itu bukan batu sandungan tapi batu loncatan dari Allah, supaya akhirnya Yusuf dipakai Tuhan untuk menyelamatkan hidup banyak orang di Mesir dan sekitarnya, termasuk hidup keluarganya. Itu sebabnya Yusuf mengatakan, bukan kamu yang mengutus aku ke sini melainkan Allah.

Tapi untuk belajar bersikap lebih dari yang biasa. Kita bukan hanya mau belajar dari Yusuf, tetapi juga dari pengajaran Yesus dalam Lukas 6.

Sebab Yesus mengatakan untuk jadi lebih dari biasa kita harus pake:

  1. Kasih

Kasihi musuh bukan hanya lewat perkataan tetapi juga perbuatan, dengan berbuat baik   pada mereka, berdoa bagi mereka yang membenci, mengutuk dan yang berbuat jahat kepada kamu. Nda mudah? Yess. Itu sebabnya kalau mau mengasihi. Kita juga akan

  1. Berkorban

Siap mengasihi = siap berkorban

Siap mengasihi = siap terluka (ditampar pipinya)

Siap mengasihi = siap kehilangan (jubah dan baju) - hal yang disukai

Tapi tindakan kasih dan berkorban ini kita lakukan untuk menjadi pribadi yang

  1. Murah hati (Yun. eleemon = berbelas kasihan)

            Sama seperti Bapamu murah hati (berbelas kasih)

Dan belas kasihan ini efeknya tidak akan menghakimi, tidak menghukum, memberi yang baik termasuk pengampuanan. Karena sadar bahwa kita juga adalah orang-orang yang menerima belas kasihan Allah.

Jemaat Tuhan terkasih, hari ini kita sama-sama mau dipesankan

  1. Dalam hidup, kita sangat mungkin dilukai oleh orang-orang di sekitar kita
  2. Bukan apa yang orang lakukan, yang menentukan siapa kita tapi apa yang kita tentukan, itulah yang menentukan diri kita! Mari kita pilih bukan yang biasa saja tapi lebih dari yang biasa.
  3. Mari menjadi lebih dari biasa dengan membiasakan melakukan kasih, berkorban, terus murah hati.

Tuhan menolong kita semua. Amin. -mC-

Kamis, 09 Januari 2025

BAPTISAN: HIDUP BERKENAN KEPADA-NYA

Minggu Pembaptisan Tuhan
Yesaya 43:1-7 | Mazmur 29 | Kisah Para Rasul 8:14-17 | Lukas 3 :15-17, 21-22


Minggu ini kita mengingatrayakan Pembaptisan Tuhan kita, Yesus Kristus. Baptisan sendiri begitu penting dalam kehidupan kekristenan. Bagi orang-orang Protestan, baptisan adalah salah satu dari dua sakramen yang dijalankan dan dihayati sebagai tanda dan meterai atas perjanjian Allah; tanda yang kelihatan dari anugerah keselamatan Allah yang tak terlihat; tanda bahwa kita telah dipersatukan dalam tubuh Kristus. Namun, jika berbicara mengenai baptisan, perbedaan tradisi menjadi isu yang serius. Walaupun baptisan mempersatukan kita dalam tubuh Kristus, baptisan juga menjadi salah satu sumber perpecahan, justru karena masalah yang tidak esensial, cara. Padahal cara itu bukan sesuatu yang penting. Baptisannya saja tidak menyelamatkan, apalagi caranya. Salah satu yang penting dari baptisan adalah maknanya.

Pembaptisan Yesus sendiri tentu memiliki banyak makna yang bisa kita ambil, dan mungkin banyak dari antara kita yang sudah memahami arti atau makna dari pembaptisan Yesus. Dalam bacaan injil Minggu ini, dikatakan bahwa Yohanes berseru, “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis” (Luk. 3:3). Seruan untuk dibaptis di sini diawali dengan seruan untuk bertobat. Dengan demikian, baptisan yang diberikan Yohanes di sini adalah tanda pertobatan. Namun, kita juga tentu memahami bahwa Yesus adalah pribadi yang tidak berdosa, karena Ia adalah Pribadi dari Allah Trinitas. Jika Yesus tidak berdosa, lalu untuk apa Ia menerima baptisan tanda pertobatan?

Setidaknya ada dua alasan Yesus memberi diri dibaptis. Pertama, Yesus memberi teladan dan dukungan. Yohanes adalah nabi pertama setelah empat ratus tahun tidak muncul seorang pun nabi di Israel. Karena itu, banyak orang yang menghormati Yohanes, dan mengikuti pengajaran-pengajarannya. Pada saat itu juga, Yesus akan memulai pelayanan-Nya sebagai guru/rabi. Seorang guru akan dihormati jika ia melakukan sesuatu yang dianggap baik sehingga menjadi teladan bagi murid-muridnya. Yesus memberi diri dibaptis untuk menunjukkan bahwa Dia pun seorang guru, sambil memberi teladan kepada orang banyak untuk bertobat serta mendukung pelayanan yg dilakukan Yohanes. Kedua, pertobatan itu bukan pertobatan individual, melainkan pertobatan komunal. Seruan Yohanes untuk bertobat adalah seruan kepada seluruh bangsa, untuk bertobat sebagai sebuah bangsa yang telah berdosa di hadapan Tuhan. Yesus dibaptis dan bertobat bukan karena Ia secara individual telah berdosa, tetapi karena Ia adalah bagian dari suatu bangsa yang telah berdosa. Pembaptisan-Nya adalah bentuk pertobatan secara komunal, sekaligus untuk menyatakan pengampunan dari Allah.

Selain kedua alasan itu, ada makna yang utama soal pembaptisan Yesus. Sesudah Yesus dibaptis, terdengarlah suara dari surga: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Luk. 3:22). Ini adalah penegasan dari Allah yang menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Jadi pembaptisan Yesus juga sebenarnya mau menegaskan bahwa diri-Nya adalah Anak Allah. Baptisan bukan hanya soal pertobatan dan pengampunan, tetapi juga soal relasi. Namun demikian, bukan berarti bahwa Yesus menjadi Anak Allah setelah Ia dibaptis. Yesus memang adalah Anak Allah, dan baptisan adalah afirmasi atau penegasan dari Bapa sendiri mengenai Yesus sebagai Anak yang dikasihi-Nya.

Afirmasi. Saudara-saudari, dalam dunia maya dan platform digital sekarang afirmasi itu sesuatu yang sangat penting. Kalau anda mengepos sesuatu di media sosial, entah status, foto, video, tweet atau apa pun itu, entah di Instagram, X, Tiktok, atau Facebook, pasti harapannya ada yang menyukai (like) posting-an. Bukan hanya posting-an, sekarang ini ada fenomena like komentar yang banyak. Orang yang komentarnya disukai oleh banyak orang, bahagianya luar biasa. Bahkan ada pula yang  meminta komentarnya disematkan biar menjadi komentar yang paling atas, padahal kita belum tentu kenal siapa dia dan dia juga belum tentu kenal siapa kita. Lalu kalau like-nya sedikit, bukan tidak mungkin kita agak kecewa. Afirmasi di media sosial ini bukan sesuatu yang akan bertahan selamanya, bahkan sesuatu yang dangkal. Namun, kita membutuhkannya. Mengapa? Karena kita makhluk sosial. Karena itu pula kita mendambakan penegasan atau afirmasi dari orang lain. Media sosial membuat persepsi itu, bahwa kita terhubung dengan banyak orang, dan diafirmasi oleh banyak orang.

Namun demikian, apa yang terjadi pada Yesus bukan sekadar afirmasi atau penegasan, melainkan perkenanan. "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan". Penegasan sekaligus perkenanan inilah yang melandasi seluruh identitas Yesus sebagai manusia yang berkarya dalam dunia. Pembaptisan Yesus ini yang menjadi landasaan keseluruhan karya Kristus. Bahkan sampai kematian dan kebangkitan-Nya, tidak lepas dari perkenanan Allah dan identitassebagai Anak Allah yang dikasihi. Ketika Ia menghadapi momen tergelap dalam hidupnya, Yesus tidak mundur. Ia tetap melakukan kehendak Bapa-Nya, karena Ia tahu Ia diperkenan, ia dicintai Sang Bapa, dan itu cukup. Ia tidak perlu pembuktian diri, karena cinta dan perkenanan Allah sudah cukup.

Inilah alasan mengapa baptisan itu sangat penting. Dengan baptisan kita memang mengalami pengampunan. Namun, yang lebih utama adalah soal relasi. Dengan baptisan di dalam bersama Kristus, kita pun diafirmasi sebagai anak-anak Allah. Tidak hanya itu, kita dicintai oleh Allah yang berkenan kepada kita. Karena itu, baptisan juga adalah penegasan status kita sebagai anak-anak Allah, sehingga setiap kali kita mengenang janji baptisan melalui pengakuan iman, kita pun diingatkan akan itu. Dengan mengenang janji baptis kita, kita selalu diingatkan bahwa kita dicintai. Karena itu, tidak perlu cari pengakuan dan afirmasi dengan banyak tingkah. Kita yang dibaptis bersama Kristus, kita pun dicintai dan diperkenan Allah. Itu cukup. Cinta dan perkenanan Allah itu lebih dari cukup.

Cinta-Nya dinyatakan lewat penyertaannya sehari-hari; lewat udara yang kita hirup; lewat keluarga atau sahabat yang ada dan mendukung kita; lewat rekan kerja atau rekan pelayanan yang suportif; lewat pekerjaan kita yang membuat kita merasa hidup dan berguna; lewat makanan dan minuman sehari-hari. Bahkan momen tergelap dalam hidup kita pun Ia tidak pernah meninggalkan kita, sebagamana Ia tidak pernah meninggalkan Yesus, Anak-Nya. Dengan mengenang janji baptis kita dalam Pengakuan Iman, kita selalu diingatkan dan disadarkan  bahwa kita adalah anak-anak yang dikasihi dan diperkenan Allah. Karena itu kita pun seharusnya hidup sebagai anak-anak Allah, berperilaku, berpikir, bertindak sebagai anak-anak Allah yang hidup dalam cinta dan perkenanan-Nya. (ThN)